Yudi Latif
”TAK perlu takut pada keagungan ,” tulis William Shakespeare. ”Sebagian orang terlahir agung , sebagian lain mencapai keagungan , sedangkan sisanya memiliki iman agung pada mereka.”
Keterpilihan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden ialah cerita contoh wacana orang-orang biasa yang sanggup mencapai keagungan lewat pencapaian dan pelayanan sehingga meraih iman agung dari puluhan juta rakyat negeri ini.
Setiap zaman didefinisikan oleh jagoan agungnya. Dalam kehidupan republik , sentra keagungan kepahlawanan itu berpendar dari istana kepresidenan. Setidaknya untuk masa lima tahun ke depan , pendefinisi cerita republik ini bakal ditentukan oleh perpaduan abjad Jokowi-JK.
Keagungan presiden bersumber dari auranya sebagai satu-satunya pejabat negara yang dipilih eksklusif oleh lebih banyak didominasi rakyat. Berbeda dengan anggota dewan perwakilan rakyat atau DPD yang hanya memerlukan pemberian signifikan dari tempat pemilihan atau provinsi tertentu , seorang presiden memerlukan pemberian berskala nasional. Jika keterpilihan anggota dewan perwakilan rakyat dan DPD sanggup saja mengandalkan kekuatan primordial , keterpilihan seorang presiden menuntut aliansi luas lintas batas (kelas dan aliran).
Terpilih sebab pemberian lintas batas , seorang presiden merupakan simpul kemajemukan bangsa yang menuntutnya menjadi kekuatan moderasi dari pelbagai tarikan ekstremitas. Terlebih dalam sistem pemilihan presiden di Indonesia , yang tidak melalui mekanisme perwakilan electoral college , tetapi melalui mekanisme satu orang satu suara. Di sini , keterpilihan seorang presiden berbasis pemberian individu warga negara , yang menuntutnya mempertahankan kesetaraan warga di depan hukum.
Kita patut bergembira menyambut perubahan pilihan informasi dalam kampanye kepresidenan kali ini. Serial debat presiden mulai menggeser isu-isu pedoman ke tepian , kalah seru dibandingkan dengan perdebatan isu-isu substantif menyangkut pilihan kebijakan ekonomi-politik.
Meski begitu , sisa-sisa abses warisan politik identitas masih terlihat kambuhan dikala menghadapi godaan manipulasi pemberian dan lemahnya nilai-nilai keadaban kewargaan (civic virtue) dalam dunia politik kita. Dalam kampanye kepresidenan yang kemudian , kebijaksanaan publik terganggu oleh kampanye hitam dan politisasi simbol etnis-keagamaan yang sanggup mencederai nilai-nilai kewargaan inklusif. Nada permusuhan atas pengikut golongan lain dilakukan lewat argumentum ad populum , yang mengasosiasikan capres-cawapres dengan keturunan dan keagamaan tertentu.
Untuk memutus rantai hate crime ini , presiden terpilih sebagai penjaga persatuan dan identitas nasional dituntut taat asas dengan konstitusi sebagai titik konsensus. Pemimpin negara harus sadar bahwa demokrasi tidak sanggup dipisahkan dari konstitusi , tecermin dalam istilah ”demokrasi konstitusional”. Istilah itu mengandung makna , demokrasi merupakan fenomena politik yang tujuan ideologis dan teleologisnya ialah pembentukan dan pemenuhan konstitusi.
Pemenuhan tiga pokok
Komitmen utama konstitusi dan kepemimpinan negara berkhidmat pada upaya mengamankan serta mencari keseimbangan pemenuhan tiga pokok kemaslahatan publik: problem legitimasi demokrasi , kesejahteraan , dan identitas kolektif.
Basis legitimasi demokrasi mengasumsikan bahwa institusi-institusi politik merepresentasikan kepentingan dan aspirasi rakyat setrik imparsial. Klaim ini sanggup dipenuhi jikalau segala keputusan politik yang diambil terbuka bagi proses perdebatan publik setrik bebas , setara , dan rasional. Hanya dengan penghormatan terhadap mekanisme public deliberation menyerupai itulah peraturan dan keputusan yang diambil memiliki legitimasi demokratis yang mengikat warga.
Pengukuhan atas konsepsi imparsialitas juga menuntut keadilan dalam kesejahteraan. Seperti dikatakan oleh John Raws bahwa sumber persatuan dari negeri multikultural ialah ”konsepsi keadilan bersama”. ”Meskipun masyarakat yang berketertiban baik boleh jadi terbagi dan pluralistik... persetujuan publik atas masalah-masalah keadilan sosial dan politik sanggup mendukung persaudaraan kewargaan dan menjamin ikatan-ikatan asosiasi.”
Semua itu merupakan prakondisi terpeliharanya kebajikan ketiga , identitas kolektif sebagai bangsa. Kemunculan Indonesia sebagai civic nationalism , dengan Pancasila sebagai titik temu solidaritas kolektif , menerima bahaya dari meruyaknya aspirasi politik identitas yang membonceng arus globalisasi dan lokalisasi.
Manfaat pemimpin negara sebagai kekuatan moderasi benar-benar diuji. Betapapun mereka tampil sebab pemberian partai atau kelompok , sekali mereka terpilih , anasir-anasir partikularistik harus dikesampingkan demi kemaslahatan bersama. Bilamana perlu , presiden terpilih sanggup merangkul unsur-unsur dari pesaing dalam kerangka semangat gotong royong.
Untuk masa yang panjang , politik segregasi telah membuat sejumlah besar rakyat Indonesia terkunci dalam kepompong budayanya masing-masing , tanpa kehendak berbagi. Presiden sanggup menjadi katalis untuk menjebol sekat-sekat ini lewat kebijakan dan keteladanannya. Dipilih dengan pemberian rakyat setrik multikultural , pasangan presiden-wakil presiden perlu terperinci kesadarannya bahwa keagungan mereka ditentukan konsistensinya sebagai simpul kemajemukan bangsa.
Yudi Latif , Pemikir Kenegaraan dan Kebangsaan
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Presiden Multikultural"