Radhar Panca Dahana
SETIAP pagi dini sekali , setelah siuman dari tidurnya , sebelum ia melaksanakan atrik , bahkan shalat segimana diajarkan ayah dan ustaznya , Tuan Fulan bakal keluar rumahnya , memasuki taman kecil di depan , berjongkok , membungkuk , dan bersujud untuk mencium tanah. Tuan ini tidak begitu tahu persis kapan ia mulai atrik itu , tetapi terang sudah sangat usang , mungkin semenjak ia cerdik balig.
Seperti dorongan tak tertahan , Tuan yang berasal dari sebuah pulau purba di timur negeri ini mencicipi tanah sebagai pecahan ”tak terhindar” dari dirinya , diri kemanusiaannya. Dengan menyentuh semua yang paling murni dari kehidupan: tanah pagi , udara higienis , dan embun sebagai H2O termurni yang dihasilkan alam. Jika itu berkesesuaian dengan kisah para tetua di desanya , bahwa ia keturunan final salah satu nenek moyang warga adat setempat yang muncul dari tanah , maritim (air) , dan udara , Tuan Fulan tak begitu peduli.
Dalam pengertian kita , insan modern , Tuan Fulan mewakili jutaan dan miliaran insan di muka bumi ini , segimana juga Anda yang kalau menyelidiki diri memiliki atrik serupa. Kegiatan yang setrik personal berisi sebuah pegangan atau teladan aneh dan idealistis bernama: nilai (value). Inilah dasar awal kesadaran insan mengetahui diri dan hidupnya cukup berharga untuk dipertahankan menghadapi segala tantangan zaman; insan perlu menjaga bukan hanya keberadaan , melainkan juga kemuliaan.
Apa yang terjadi pada Tuan Fulan—juga Anda—sebenarnya sebuah langkah pertama dalam upaya insan setrik kolektif membangun apa yang kita sebut kemudian sebagai kebudayaan. Kegiatan rutin yang kemudian jadi tradisi atau adat (keduanya berasal dari bahasa aneh , tetapi maknanya kongruen) , yang kalau dilakukan setrik kolektif , dari sebuah masyarakat atau komunitas bakal membuat tingkat kedua dari proses pembudayaan: norma (norms). Sebuah tingkat , segimana yang pertama , tak membutuhkan bahkan belum muncul evaluasi sosial (social judgement) apakah tradisi normatif itu bersifat negatif (destruktif) atau positif (konstruktif). Bisa salah satu , bisa keduanya.
Baru di tingkat kedua ini saja , kita , warga dari sebuah bangsa dan sebuah negara , sanggup meninjau diri sendiri—sebagai individu , komunitas , dan seterusnya—apakah ia berada dalam sebuah norma—yang merupakan mufakat (konsensus) setrik sadar maupun bawah-sadar—dengan bentuk dan dampak yang membangun (positif) atau merusak (negatif)? Ketika kita , contohnya , mengambil dua buah lembar kertas dari laci simpanan kertas kantor kita (milik perusahaan atau negara) untuk katakanlah menulis surat langsung atau membungkus masakan , apa yang terasa signifikan dalam diri kita? Sebuah kewajaran normal (yang setrik etimologis berakar pada norms) sebab dilakukan hampir seluruh orang tanpa perasaan bersalah , atau sadar betapapun itu hanya dua lembar kertas bahwasanya ia contoh positif sikap yang koruptif?
Maka mari kita jadikan dunia sekeliling cermin reflektif untuk memahami realitas diri kita sendiri? Bagaimana kita dan ribuan orang lain bersepeda motor di kemudian lintas padat Ibu Kota , mengantre tiket sepak bola , berebut proyek yang ditawarkan pemerintah , berkompetisi di lapangan olahraga , bersaing dengan toko/pedagang yang punya komoditas serupa dengan dagangan kita. Apakah setrik normatif Anda melaksanakan tindakan yang sepertinya setrik kolektif lumrah , alamiah—sehingga tak menerbitkan rasa bersalah atau ”dosa”—padahal sesungguhnya dalam norma lain keliru , a-sosial , bahkan kejahatan?
Berbudaya satu , Indonesia
Sebuah kebudayaan pada pada dasarnya sebuah kerja dari agregat-agregat tradisi atau adat yang dilakukan insan , baik di tingkat personal , komunal , sampai nasional. Kerja kebudayaan yang semula hanya bermaksud untuk kebertahanan (survivality) dari hidup makhluk berjulukan insan , menjadi niat untuk memuliakan (honor , dignity) ketika mereka , gerombolan (crowd) yang kemudian menjadi masyarakat (society) itu meninggikan level kebudayaannya dari norma sektoral yang mereka tradisikan menjadi sebuah kumpulan kebenaran dan kebaikan berjulukan moralitas. Sebuah teladan abstrak-idealistis yang dimufakatkan sejumlah gerombolan normatif (normative crowds) untuk terciptanya kolaborasi , harmoni , atau sebuah keteraturan hidup (order) , di mana kecenderungan individual atau kelompok/sektarian tak ganggu keseluruhan.
Di tingkat ketiga mufakat maya (abstractive consensus) inilah sebuah kebudayaan pada tingkat awal tercipta dalam diri sebuah masyarakat atau bangsa. Inilah argumen kunci , gimana bangunan sebuah bangsa tak bakal tercipta tanpa fondasi kebudayaan yang menegakkan tiang-tiangnya. Dalam kasus negeri ini , betapapun saya kerap menyatakan Sumpah Pemuda 1928 yaitu sebuah pernyataan kebudayaan , ketimbang maklumat politik , tetap saja bakal terasa tak tepat sebab ia mengabsensi frase krusial dan vital: ”berbudaya satu , budaya Indonesia”.
Frase vital inilah yang bakal memberi signifikansi atau klarifikasi berpengaruh apa makna , posisi , dan kiprah dari tiga frase sebelumnya. Dan harus kita akui bersama , setelah hampir 70 tahun negeri ini merdeka dengan fait accompli berupa proklamasi 1945 , kita belum pernah berhasil menunaikan PR atau kiprah penting yang jauh lebih renta dari kemerdekaan itu sendiri: memufakatkan apa yang kita bayangkan (baca: harapkan) perihal kebudayaan (nasional) Indonesia (KNI). Karena sesungguhnya , dari komprehensi kolektif yang adekuat perihal KNI itulah tersimpan jawaban-jawaban krusial dan mendasar dari persoalan-persoalan yang mengguncang dasar-dasar kebangsaan dan kenegaraan kita di tengah kerumitan zaman mutakhir ini.
Kita menyadari , pemerintah—di semua sektornya—sebagai penyelenggara negara , dengan pergantian pimpinan , kabinet atau lembaganya yang aneka rupa , ternyata senantiasa lalai mengerjakan PR kebangsaan ini. Setrik sadar kita pun menyesalkan aparatus sipil , termasuk kaum intelektual , rohaniwan , sampai para seniman , juga tak merasa kebutuhan ini hal emerjensial dalam realitas hidup kita kini.
Terlebih generasi kita ketika ini , di mana tingkat dan akomodasi hidup sudah jauh meningkat ketimbang—setidaknya—para pendiri bangsa , baik dalam kecukupan hemat , kesehatan , kekuatan daya pikir dan emosi , maupun limpahan data yang berjuta kali lipat dari apa yang bisa diakses oleh bapak-ibu bangsa kita dahulu , ternyata belum juga berhasil membuahkan karya kebudayaan terbaiknya: gagasan. Sebuah nebula aneh yang bahwasanya menjadi ruh dari kebudayaan di tiga tingkatan di atas (plus dua tingkatan sesudahnya , etika dan estetika , di mana sebuah kebudayaan bermetamorfosa menjadi (per)adab(an)) , yang laiknya menjadi warisan (legacy) penting lain pada generasi-generasi mendatang , di samping warisan material kita yang memalukan.
Warisan gagasan kita
Bagaimana tidak memalukan kalau dalam segi material kita hanya mewarisi artefak dalam monumen-monumen ringkih dan jiplakan , berupa gedung pencakar langit , jalan raya , jembatan , sampai tarian , puisi , atau kebiasaan sampai kejahatan sebagai produk-produk budaya mutakhir yang sama sekali tak merefleksikan harta karun budaya yang ditinggalkan nenek moyang kita di 600 suku bangsa negeri ini. Bahkan , dengan gembira kita memasang reklame di jidat kebudayaan kita , nama-nama yang diproduksi setrik masif dan global oleh kebudayaan lain , notabene kontinental , baik oksidental atau oriental.
Terlebih sumber daya material yang dimiliki alam negeri ini , dengan pendaman waktu jutaan dan miliaran tahun , yang ternyata hanya dalam hitungan dekade menjadi kerusakan tak terperbaiki , limbah , dan peristiwa sebab kerakusan kontinental kita. Inikah bentuk pertanggungjawaban generasi kita pada anak cucu , meninggalkan tak hanya peninggalan natural dan nurtural yang apkir bahkan setrik sistemik merusak? Menciptakan warisan beban yang demikian beratnya , sehingga membuat anak cucu sangat kewalahan dan hasilnya terdesak untuk mendapatkan kenyataan eksistensialnya hanya jadi korban dari zaman yang lebih kejam dari semua jenis kolonialisme masa lalu?
Rasa prihatin terhadap semua kasus mendasar , rasa bersalah pada generasi pendahulu dan penerus itulah yang mendorong Mufakat Budaya Indonesia (MBI) , tergerak untuk menunaikan kiprah sederhana tetapi besar itu , memufakatkan di antara para penggagas dan pekerja sebuah gagasan perihal lantai fondasi dari kebangsaan dan kenegaraan kita: kebudayaan nasional Indonesia. Majemuk kecil yang berimplikasi besar dan luas ini diperlukan sanggup menjadi sekadar warisan idea(listis) yang mungkin menjadi jalan setapak bagi generasi berikut dalam menghadapi rimba hidup yang kembali pada hukum-hukum purbanya yang primitif.
Betapapun mungkin tidak cukup representatif bagi khazanah pemikiran , modern , tradisional sampai spiritual , 150 cendekiawan , budayawan , tokoh spiritual , dan tetua adat bakal berkumpul dan berkeringat untuk mencapai mufakat pada 28-30 November 2014 perihal tema besar di atas bersama klarifikasi terperinci tematiknya. Ini temu akbar kedua di mana Deklarasi Cikini 2009 yang dihasilkan temu akbar pertama (diikuti 80-an peserta) jadi landasan gagasan di mana ternyatakan di dalamnya: kebudayaan nasional Indonesia berbasis realitas historis , geografis , sampai arkeologis sebagai kebudayaan maritim.
Apakah 150 penerima dari banyak sekali kalangan di tengah kebebasan preferensial sampai di tingkat pemikiran dan klaim kebenaran ini bisa bermufakat? Inilah sebuah ujian laboratoris bagi kebudayaan kita , kebudayaan yang konon menjadi faktor tunggal kita berbangga dan merasa berdaulat , di tengah semua sektor yang melulu jadi pecundang bahkan di level regional kecil , ibarat ASEAN.
Apa pun yang sanggup dihasilkan , sebuah langkah dari upaya besar yang mesti berlanjut ke masa depan telah kita tapakkan.
Radhar Panca Dahana; Budayawan
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Mufakat Untuk Kebudayaan"