Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Urbanisasi Di Indonesia

Saratri Wilonoyudho

DUA hari berturut-turut (15 dan 16 April) Kompas menyajikan dua tema menarik perihal pertumbuhan kota di Jawa yang mengarah kepada megapolitan , menyerupai Jabodetabekjur , Bandung Raya , Kedung Sepur , dan Gerbangkertasusila. Megapolitan yang membentang dari arah barat hingga timur diperkirakan bakal ”menyatu” sehingga Jawa bakal menjadi pulau kota. Kecenderungan serupa juga terjadi di seputar Kota Medan , Palembang , Makassar , dan sebagainya.

Data Badan Pusat Statistik (1995 dan 2005) menunjukkan , proporsi penduduk perkotaan di Indonesia makin besar , 22 ,3 persen pada 1980 menjadi 30 ,9 persen pada 1990 dan 43 ,11 persen pada 2005. Yang menjadi problem , urbanisasi ini bakal menjadikan aneka macam imbas negatif , menyerupai terkikisnya lahan- lahan subur di sekitar kota besar (spread effect) , dan permasalahan dalam kota , menyerupai kemacetan kemudian lintas , degradasi lingkungan , sanitasi , dan banjir.

Ditinjau dari letak pulau , maka di Pulau Jawa proporsi penduduk perkotaan mencapai angka 70 persen dan di Luar Jawa hanya 26 persen. Angka tersebut relatif konstan hingga dikala ini.

Kota yang didominasi jumlah penduduk yang besar ialah Jakarta , Bandung , Medan , Surabaya , dan Semarang. Indeks primasi Jakarta terhadap empat kota besar lain juga masih tinggi , yakni 0 ,56 pada 1980 dan 0 ,58 pada 1990 , dan menurun menjadi 1 ,41 pada 2005.

Pola-pola keruangan di Jawa masih mengarah kepada bentuk koridor , contohnya koridor Jakarta-Semarang melalui Cirebon , Semarang-Yogyakarta , dan Surabaya-Malang.

Kota-kota kecil di antara dua kota besar atau lebih pada umumnya hampir menyatu sehingga boleh dikatakan kota-kota kecil tersebut kiprahnya melemah. McGee menyebutnya sebagai fenomena ”desa-kota” , dan fenomena ini sanggup diamati dalam kerangka region-based urbanization dan bukannya sebagai city based.

Kesenjangan

Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam pembangunan kewilayahan , meningkatnya urbanisasi terkait dengan gosip , terutama terkait dengan problem ”kesenjangan wilayah” (regional imbalances).

Banyak indikator yang dipakai untuk menunjukkan bahwa sebuah wilayah dianggap lebih maju dibandingkan dengan wilayah yang lainnya.
Hill (1993) , contohnya , menyebut indikator yang bersifat statis , menyerupai Indeks Pembangunan Manusia (human development index) , Indeks Kualitas Kehidupan setrik Fisik (physical quality of life index) , dan laju produk domestik regional bruto (PDRB).

Dari uraian itu tampak bahwa pembangunan kewilayahan terkait bersahabat dengan sistem ekonomi-politik sebuah negara. Hal ini juga disepakati oleh Hill (1996) , bahwa dengan budi sentra bakal terjadi sebuah keputusan untuk menyebarkan wilayah mana saja , dan bakal ”mengorbankan” wilayah yang lain. Pada masa Orde Baru , untuk menyebarkan sebuah wilayah dianut konsep kutub pertumbuhan.

Konsep ini , berdasarkan Douglass (1998) , dilakukan dengan jalan mengalokasikan investasi yang tinggi di sektor industri di sentra kota yang besar. Harapannya , pertumbuhan ekonominya sanggup menyebar dan membangkitkan pembangunan wilayah di sekitarnya (spread effect dan trickle down effect). Asumsinya , barang-barang yang dihasilkan diekspor ke luar dan pusat-pusat metropolitan untuk menjadi ”mesin pembangunan” (engine of development).

Konsep kutub pertumbuhan mengasumsikan bahwa dengan industrialisasi diperlukan bakal muncul peluang kerja dan bisa menampung luapan kerja dari sektor pertanian.

Di negara-negara berkembang diasumsikan ada produk pertanian yang sanggup dipacu produktivitasnya sehingga bakal memperluas kesempatan kerja dan pendapatan. Dari titik inilah diperlukan tumbuh perjuangan kecil menengah perjuangan farm , ada pergerakan modal , ada kredit , dan teknologi dengan riset.

Tidak cocok

Dalam kenyataannya , taktik kutub pertumbuhan ini tidak cocok di negara-negara berkembang menyerupai Indonesia , alasannya ialah ada dualisme antara sektor pertanian dan industri. Pada satu sisi sektor pertanian lahannya ,− terutama di Jawa , −sangat sempit alasannya ialah ada fragmentasi atau pewarisan.

Pada sisi lain , sektor industri sangat padat modal dan berorientasi kepada substitusi impor. Teori-teori dari Boeke (1961) perihal dualisme sektor ekonomi ataupun dari Geertz perihal involusi pertanian banyak menjelaskan perihal kemiskinan dan peluang kerja di pedesaan.

Dari skema tersebut tampak bahwa kalau negara-negara maju mengalami proses yang simultan antara sektor pertanian dan sektor modern , maka negara-negara berkembang menyerupai Indonesia tidak demikian.

Di negara-negara berkembang—kecuali Tiongkok—industri yang dikembangkan ialah industri substitusi impor , dan sentra kapitalisme tetap ada di New York , Berlin , London , atau Tokyo. Wajar bila modernisasi pertanian terhambat dengan serius. Bahkan untuk urusan kedelai atau gula , negeri ini harus impor.

Sebagai epilog , kesenjangan wilayah harus dipecahkan dengan konsepsi berpengaruh untuk jangka waktu yang panjang , yang dilandasi keadilan sosial.

Daerah-daerah yang kurang berkembang didorong dengan mobilisasi seluruh kelembagaan , dengan kemampuan aparatur tempat yang terampil dan memiliki visi-misi ke depan yang jelas. Kesemuanya mestinya dijalankan dalam sebuah jaringan (networking) yang erat.

Masalahnya , bangsa ini banyak dijejali pejabat dan kepala tempat yang bermental pedagang , yang kurang kasar menyebarkan wilayahnya. Kegemaran impor aneka macam komoditas merupakan indikatornya.

Saratri Wilonoyudho , Ketua Koalisi Kependudukan Jawa Tengah

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Urbanisasi Di Indonesia"

Total Pageviews