Ignas Kleden
Pada 9 Juli 2014 besok rakyat Indonesia bakal menentukan calon yang menjadi presiden mereka untuk lima tahun mendatang. Para pemilih bakal berhadapan dengan tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan dengan pilihan yang mereka lakukan terhadap anggota dewan perwakilan rakyat , contohnya.
Kita tahu ada 560 dingklik di dewan perwakilan rakyat untuk para legislator terpilih. Seandainya di antara jumlah itu ada 260 anggota Dewan terpilih yang ternyata tidak sanggup menjalankan kiprah dengan baik , kekurangan mereka masih sanggup dikompensasi oleh 300 anggota lainnya yang dengan tanggung jawab , kompetensi , dan pengabdian melaksanakan fungsi legislasi , pengawasan , dan penganggaran sebagai kiprah anggota Dewan. Risiko dalam menentukan calon memang ada , tetapi diperkecil oleh kehadiran dan kinerja calon lainnya. Hal ini tidak berlaku pada pemilihan presiden alasannya ialah yang menjadi presiden hanya satu orang. Seandainya presiden terpilih tidak menjalankan tugasnya dengan benar , tidak ada pihak lain yang sanggup mengimbangi kelemahannya , dan seandainya ia melaksanakan hal-hal yang tidak dibutuhkan , hal itu harus ditanggung seluruh rakyat Indonesia selama lima tahun , alasannya ialah tak ada prosedur politik untuk menurunkan presiden dari jabatannya di tengah jalan.
Impeachment hanya mungkin dilaksanakan dalam keadaan yang amat sangat langka , yaitu jikalau presiden terbukti melanggar konstitusi atau terlibat dalam suatu skandal besar. Ini semua berarti , para pemilih presiden memiliki tanggung jawab yang amat besar alasannya ialah pilihan yang mereka lakukan bakal membawa jawaban bukan hanya buat diri mereka sendiri , melainkan juga buat banyak orang lain , bahkan untuk seluruh rakyat dan masyarakat Indonesia. Memilih presiden sama dengan menentukan hitam-putihnya masa depan seluruh bangsa dan jatuh-bangunnya negara RI.
Apa pun soalnya , pemilihan presiden bukanlah teka-teki yang hanya sanggup ditebak , tetapi keputusan yang dibentuk oleh para pemilih berdasarkan preferensi setiap orang entah alasannya ialah alasan eksklusif , ideologi , atau alasannya ialah efek lingkungan. Apakah ada kriteria yang sanggup menjadi pegangan dalam melaksanakan pilihan? Pemilihan presiden bukan sekadar tindakan eksklusif , melainkan juga tindakan politis yang berhubung dengan pertimbangan politik dan membawa jawaban politik.
Visi dan misi umpamanya disusun dan disosialisasikan oleh seorang calon presiden dan para pendukungnya supaya para pemilih tahu apa kira-kira yang bakal dilakukan seorang calon presiden apabila ia diberi mandat oleh rakyat menjadi presiden mereka. Visi dan misi menawarkan apa yang hendak dilakukan dan ingin dilakukan , meskipun belum menawarkan apakah seorang presiden sanggup melaksanakan apa yang dikehendakinya berdasarkan visi dan misi yang diumumkan.
Kalau kita membaca visi dan misi kedua calon presiden ketika ini , cukup terang bahwa keprihatinan dasar kedua calon tak banyak bedanya: kesejahteraan rakyat , penguatan kebangsaan , dan tegaknya Indonesia sebagai negara dan bangsa yang berdiri sama tinggi , duduk sama rendah dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Ini tidak mengherankan alasannya ialah baik Prabowo maupun Jokowi sama-sama nasionalis dalam orientasi politik mereka. Langsung atau tidak keduanya diilhami gagasan Bung Karno perihal Trisakti , yakni daulat dalam politik , berdikari dalam ekonomi , dan berkepribadian dalam kebudayaan. Perbedaan gres terlihat dalam trik yang ditempuh untuk mencapai tujuan mereka.
Berbasis materiil kebudayaan
Dengan perspektif kebudayaan , saya cenderung beropini bahwa visi dan misi Prabowo bertolak dari perubahan basis materiil kebudayaan. Yang hendak dilakukan ialah menggerakkan semacam revolusi pertanian dalam ukuran kecil. Menurut planning , bakal dibuka 2 juta hektar lahan gres untuk produksi pangan dengan menyerap lebih dari 12 juta tenaga kerja. Selanjutnya , bakal dicetak 2 juta hektar lahan untuk aren , ubi kayu , sagu , kelapa , kemiri , dan materi baku untuk bioetanol , juga dengan menyerap lebih dari 12 juta tenaga kerja. Produktivitas pertanian rakyat , peternakan dan perikanan bakal ditingkatkan dengan menambah dana riset sebanyak Rp 10 triliun selama periode 2015-2019.
Dalam bidang infrastruktur dasar bakal dibangun jalan dan jembatan , termasuk 3.000 kilometer jalan raya nasional gres dan modern serta 4.000 kilometer rel kereta api. Untuk rakyat yang belum punya rumah , bakal disediakan perumahan bagi 15 juta orang , dan satu juta unit rumah susun yang sanggup dicicil selama 20 tahun. Hutan yang rusak bakal dihijaukan kembali dengan reboisasi 77 juta hektar. Bahkan , pendidikan hendak ditingkatkan mutunya dengan perbaikan pada basis materiil , baik dengan memberi dana perbaikan kemudahan pendidikan sebesar Rp 150 juta per sekolah untuk pendidikan dasar dan menengah maupun dengan mengalokasikan Rp 20 triliun dari APBN untuk pendidikan universiter selama 2015-2019. Jumlah guru bakal diperbanyak dengan merekrut 800.000 guru selama lima tahun dan profesi guru bakal diberi tunjangan rata-rata Rp 4 juta per bulan.
Perubahan-perubahan yang hendak dilakukan oleh Prabowo dicoba dilaksanakan melalui proyek-proyek berskala besar dengan ukuran yang ditetapkan setrik kuantitatif. Sama sekali belum terang gimana visi mengenai dampak sosial dan biaya sosial dari perubahan-perubahan itu. Apakah perubahan pada basis materiil kebudayaan menerima dukungan atau resistensi pada basis sosial dan basis mental kebudayaan? Patut dipikirkan , apakah pembukaan 4 juta hektar lahan gres benar-benar menyentuh kepentingan rakyat yang perlu lapangan kerja , atau bahkan menimbulkan munculnya landlords , yaitu penguasa lahan yang gres , dan oligarki gres dalam bidang pertanian?
Pertanyaan ini berlaku juga untuk pembangunan rumah bagi 15 juta rakyat yang belum memiliki rumah dan pengadaan satu juta unit rumah susun. Menurut pengalaman masa kemudian , menggenjot pertumbuhan ekonomi dalam bidang apa pun selalu lebih sanggup tertangani daripada membereskan dilema pemerataan dan redistribusi pendapatan. Mungkin semua ini sudah dipikirkan oleh Prabowo dan timnya , tetapi belum terlihat dalam visi dan misi yang diumumkan kepada publik.
Perubahan pada manusianya
Calon presiden Jokowi , sebaliknya , ingin memulai perubahan pada manusianya. Dia menyebutnya revolusi mental dan perubahan dalam pembentukan huruf bangsa. Rencana ini mungkin bakal diimplementasikan melalui aneka macam trik , tetapi trik yang sudah dijelaskan dalam visi dan misi ialah melalui kurikulum di sekolah. Akan diadakan pembalikan total proporsi pendidikan huruf dalam perbandingan dengan pengajaran ilmu pengetahuan pada aneka macam tingkat pendidikan formal. Asasnya , semakin rendah tingkat pendidikan (seperti PAUD atau SD) , semakin kecil porsi pengajaran ilmu pengetahuan dan semakin besar porsi pendidikan karakter. Sebaliknya , semakin tinggi tingkat pendidikan , semakin besar porsi pengajaran ilmu pengetahuan dan semakin kecil porsi pendidikan huruf (yang diharap sudah terbentuk pada tingkat pendidikan sebelumnya).
Tentu saja besar kecilnya proporsi pendidikan huruf dan pengajaran ilmu pengetahuan bakal ditetapkan dengan proteksi para andal pendidikan dan andal psikologi. Akan tetapi , untuk pola saja , hal itu sanggup diilustrasikan sebagai berikut. Pada tingkat SD perbandingannya 80 persen pendidikan huruf dan 20 persen pengajaran ilmu pengetahuan. Proporsi ini bakal berubah sesuai dengan naiknya tingkat pendidikan , sehingga di universitas proporsinya menjadi terbalik , yaitu 80 persen pengajaran ilmu pengetahuan dan 20 persen pendidikan karakter. Usul ini boleh dianggap suatu revolusi dalam bidang pendidikan , alasannya ialah sudah puluhan tahun para perencana pendidikan di Indonesia seakan terbuai oleh delusi bahwa segala tingkat pendidikan di sekolah harus dijejali dengan pengajaran ilmu pengetahuan. Anak-anak SD memikul tas penuh buku di punggungnya , seakan mereka ialah mahasiswa doktoral yang tengah menulis disertasi atau peneliti yang sedang mengecek teori penelitiannya.
Pada titik ini , pendidikan menjadi pola terbaik bahwa tanpa mengubah basis mental dan basis sosial , perubahan pada basis materiil pendidikan (contohnya penambahan dana besar-besaran) tidak bakal membawa perbaikan , dan sangat mungkin memperburuk keadaan. Kalau kesalahan dalam orientasi pendidikan nasional dan kebijakan yang keliru tidak dibenahi terlebih dahulu , penambahan dana pendidikan malahan memungkinkan terjadinya semakin banyak penyelewengan yang berasal dari orientasi dan kebijakan pendidikan yang tidak sesuai dengan hakikat pendidikan. Kalau buku pelajaran sanggup diperbarui setiap tahun , penambahan dana pendidikan bakal memungkinkan pencetakan buku-buku pelajaran gres yang serba coba-coba dan dalam praktiknya semakin menambah kebingungan , bukan saja di antara murid , melainkan juga di kalangan guru-guru mereka.
Sudah semenjak era ke-19 andal bahasa dan filosof pendidikan Jerman , Wilhelm von Humboldt , memberi definisi pendidikan tinggi yang masih dipegang teguh oleh banyak universitas di Jerman sampai sekarang. Menurut filosof ini , hakikat pendidikan tinggi di universitas ialah Bildung durch Wissenschaft atau pendidikan melalui ilmu pengetahuan. Hanya di universitaslah pendidikan menggunakan ilmu pengetahuan sebagai sarananya , sedangkan tingkat pendidikan yang lebih rendah menggunakan banyak sarana lain di samping pengajaran ilmu pengetahuan.
Sarana-sarana lain tersebut sanggup berbentuk bermain , olahraga , kerajinan tangan , melukis , berlatih musik dan bernyanyi , tarian dan drama , berdebat dan berpidato atau membaca puisi , pendidikan agama dan kebijaksanaan pekerti , serta aneka macam sarana lainnya. Dengan demikian , menjejali otak belum dewasa SD dengan aneka macam pengajaran ilmu pengetahuan bakal menjurus ke suatu materialisme pedagogis yang hanya menghasilkan informasi , tetapi mengabaikan deretan sebagai inti pendidikan.
Selain pendidikan , hal lain yang mencolok dalam visi dan misi Jokowi ialah perhatian utama yang amat positif pada golongan yang paling terpinggirkan dalam pembangunan: nasib pulau-pulau terdepan dan para guru di tempat terpencil , keadaan para TKW di luar negeri yang hampir tanpa proteksi , pedagang kaki lima dan pasar tradisional , para petani gurem yang hendak ditingkatkan kepemilikannya atas lahan pertanian dari rata-rata 0 ,3 hektar menjadi 2 hektar per kepala keluarga , keterlibatan kaum wanita yang perlu didorong menjadi tulang punggung dalam kedaulatan pangan , dan adanya 1.000 desa yang memiliki kedaulatan pangan sampai 2019.
Kita mungkin teringat peribahasa yang menyampaikan bahwa kekuatan rantai selalu ada pada mata-rantai yang paling lemah , alasannya ialah pecahan inilah yang menentukan apakah rantai itu sanggup dipakai atau harus dibuang alasannya ialah gampang putus. Dengan kata lain , slogan putting the last first rupanya menjadi sebuah perilaku politik dalam visi Jokowi perihal pembangunan.
Hal lain yang amat penting dan belum menerima cukup perhatian ialah hubungan di antara seorang pemimpin dengan kekuasaannya. Kekuasaan tak terhindarkan dalam politik alasannya ialah menjadi sarana utama supaya suatu pemerintahan sanggup bekerja dan mewujudkan aneka macam kebijakan publiknya. Akan tetapi , semenjak masa hidup Lord Acton (ingat adagiumnya power corrupts?) , kita sudah berguru bahwa kekuasaan sanggup diibaratkan juga sebagai sejenis penyakit yang sanggup merusak sehatnya kehidupan sosial-politik.
Ada dua sifat penyakit ini yang sudah terbukti dalam sejarah dunia , yaitu kecenderungan kekuasaan untuk selalu memperbesar dirinya dan enggan atau tak sanggup membatasi dirinya , serta kecenderungan lain untuk selalu membenarkan diri dan enggan atau tak sanggup mempersalahkan dirinya. Dalam kaitan itu , ada pemimpin dengan tingkat kerentanan yang tinggi terhadap penyakit itu , dan ada pula yang lebih imun terhadap ancaman penyakit kekuasaan. Seorang yang rentan sanggup diubah oleh kekuasaan menjadi eksklusif yang lain sama sekali dari yang kita kenal sebelumnya dan sulit diramalkan tindak tanduknya. Memilih pemimpin dengan tingkat imunitas yang tinggi terhadap penyakit kekuasaan ialah jalan terbaik untuk menjamin masa depan yang sanggup diramalkan alasannya ialah adanya pola kepemimpinan yang tidak dikacaukan oleh tabiat kekuasaan.
Ignas Kleden; Sosiolog , Ketua Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Pilpres 2014 Dan Kita"