Azyumardi Azra
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada din [agama Allah]; [tetaplah atas] fitrah Allah yang telah membuat insan berdasarkan fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. [Itulah] agama yang lurus; tetapi kebanyakan insan tidak mengetahui.” (QS Ar-Rum 30:30).
”Orang-orang beriman itu bahu-membahu bersaudara. Sebab itu , ciptakanlah islah [damaikan , perbaiki hubungan] di antara kedua [pihak] saudaramu [yang berselisih] itu; dan takwalah kepada Allah supaya kau sekalian menerima rahmat [Allah].” (QS Al-Hujurat 49:10).
PUASA Ramadhan 1435/2014 segera berakhir dan 1 Syawal 1435 pun menjelang , umat Islam pun hingga kepada ‘Id al-Fitr (Idul Fitri). Inilah momen ketika mereka yang puasa kembali kepada al-’id ila fitrah , kesucian. Meski fitrah yang dianugerahkan Allah SWT tidak berubah , ibarat dinyatakan Al Alquran Surah Ar-Rum Ayat 30 di atas , insan sering mengotori fitrahnya dengan banyak sekali kesalahan , kekeliruan , dan perbuatan maksiat , baik sengaja maupun tidak.
Ibadah puasa Ramadhan dan ibadah-ibadah lain yang dikerjakan sepanjang hari atau sepanjang tahun pada pada dasarnya bertujuan supaya mereka yang beribadah (abidin) sanggup meraih kembali dan menjaga fitrah , kesucian diri masing-masing.
Dengan fitrahnya , insan tidak hanya sanggup tersucikan dalam hubungannya dengan Tuhan (habl min Allah) , tetapi sekaligus dengan insan (habl min al-nas) dan lingkungan alam lebih luas. Dengan kesucian , setiap dan seluruh individu sanggup membuat harmoni dan kedamaian di muka bumi ini.
Pemaafan untuk damai
Dalam kesempatan kembali kepada fitrah setrik individual-personal , setiap pribadi Muslimin dan Muslimat wajib memperluas kesucian itu ke tingkat sosial komunal dan masyarakat negara-bangsa Indonesia. Perluasan kesucian itu merupakan cuilan integral dari prosesi ibadah Idul Fitri yang dilakukan melalui kunjungan satu sama lain dan saling meminta dan memberi maaf.
Ibadah ini merupakan shilat al-rahim , memperkuat kembali kekerabatan kasih sayang. Melalui semua prosesi religio-sosial dan kultural ibarat ini , sanggup terbangun kekerabatan antarmanusia yang kian dekat dan fungsional dalam kehidupan pribadi , masyarakat , dan negara-bangsa.
Saling meminta dan memberi maaf (pemaafan) sangat urgen sehabis bangsa Indonesia menuntaskan Pemilu 2014 , meliputi pemilu legislatif pada 9 April dan pemilu presiden pada 9 Juli.
Meski kedua pemilu itu setrik umum berlangsung aman dan tenang , masih tersisa luka dan kepedihan yang muncul sepanjang masa kampanye , pencoblosan surat bunyi , serta penetapan presiden dan wakil presiden terpilih pada 22 Juli. Suasana menyalahkan , menghujat , dan berprasangka jelek terhadap banyak sekali pihak terkait proses pilpres itu masih mewarnai proses demokrasi Indonesia terkini.
Perseteruan dan ketegangan politik-sosial di kalangan masyarakat kita nampaknya masih bakal berkelanjutan. Memang Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan pemenang Pilpres 2014 , yaitu pasangan Joko Widodo-M Jusuf Kalla. Namun , menjelang tamat rekapitulasi bunyi pilpres berakhir (saat selesai rekapitulasi 29 dari 33 provinsi dan satu wilayah luar negeri) , calon presiden nomor urut 1 Prabowo Subianto—tanpa didampingi oleh calon wakil presiden Hatta Rajasa—menyatakan penolakan terhadap proses dan hasil Pilpres 2014.
Dalam konteks itu , nilai dan semangat ibadah puasa dan Idul Fitri sangat relevan. Ibadah puasa—perlu diingatkan kembali—merupakan latihan jasmani dan rohani dengan kesabaran.
Dengan begitu , orang beriman yang berpuasa sanggup mencapai derajat muttaqin , orang-orang bertakwa yang terpelihara dirinya dari nafsu angkara murka , dan sebaliknya lebih banyak bersabar dan bertawakal kepada Allah SWT. Kemenangan dan kekalahan dalam kompetisi dan kontestasi apa pun merupakan keniscayaan , tinggal menyikapinya setrik arif , bijak , dan tawakal.
Lebih jauh , memandang perkembangan politik sehabis pilpres yang belum sepenuhnya menggembirakan , segenap umat beriman yang telah kembali kepada fitrahnya perlu meningkatkan semangat pemaafan. Untuk mengarah ke sana , perlu pengembangan pemahaman bahwa pemaafan tulus dan lapang dada bertujuan memperbarui kekerabatan antarmanusia , antarwarga Indonesia khususnya. Pemaafan bukan sekadar aktualisasi perilaku moral bernilai tinggi yang berdiri sendiri , melainkan berkaitan dengan tujuan yang tak kurang mulianya , yakni perbaikan (islah) yang meliputi rekonsiliasi antarmanusia atau antarwarga yang dalam Pemilu 2014 , khususnya pilpres , diselimuti kemarahan yang terlihat cenderung berkepanjangan.
Dengan kandungan nilai dan semangat begitu mulia , pemaafan setrik implisit juga berarti menawarkan kesiapan seluruh warga bangsa untuk kembali hidup berdampingan setrik damai. Karena gimanapun , setiap mereka ialah manusia-manusia yang berbeda dengan segala kelemahan dan kekeliruan masing-masing.
Hanya dengan pemaafan , sanggup tercipta kedamaian dan harmoni , yang sanggup mendatangkan suasana aman bagi setiap dan seluruh warga untuk melaksanakan ikhtiar terbaik demi kemaslahatan dan kemajuan negara-bangsa Indonesia di bawah kepemimpinan nasional baru.
Pemaafan mengandung beberapa dimensi dan langkah penting. Dalam pengertian umum , pemaafan berarti mengingat dan sekaligus memaafkan. Dalam Islam , proses ini disebut sebagai muhasabah , yakni saling menghitung atau menimbang peristiwa-peristiwa pahit yang telah melukai pihak tertentu. Melalui muhasabah , semua pihak melaksanakan introspeksi untuk kemudian sanggup melaksanakan pemaafan satu sama lain.
Islah dan empati
Kemauan dan tindakan islah , memperbaiki kekerabatan dan rekonsiliasi , merupakan amal saleh yang amat mulia , ibarat dianjurkan Allah SWT dalam firman-Nya yang dikutip di atas (QS Al-Hujurat 49:10) bahwa orang-orang beriman itu bersaudara. Jika konflik terjadi di antara mereka , perlu diupayakan islah , perdamaian di antara mereka.
Memberi maaf atau pemaafan merupakan langkah dasar bagi terwujudnya islah (rekonsiliasi) di antara sejumlah pihak yang terlibat dalam tensi dan kekerabatan tidak baik. Dalam konteks kehidupan sosial-politik , Imam al-Syaikh Muhammad ’Abd al-Azim al-Zarqani dalam kitab Manahil Al-’Irfan fi ’Ulum Al-Qur’an (edisi 1988) , menyebut dua macam rekonsiliasi yang perlu dilakukan. Pertama , al-ishlah al-ijtima’i , rekonsiliasi kemasyarakatan melalui pengurangan ta’ashub atau sektarianisme sosial-politik. Kedua , al-ishlah al-siyasi melalui pengembangan akad pada keadilan , kesetaraan , dan kasih sayang , serta sebaliknya menjauhi kebohongan , pengkhianatan , penipuan , dan kezaliman.
Tindakan islah pada dikala sama merupakan pengejawantahan perilaku tenggang rasa terhadap realitas kemanusiaan. Setiap orang gimanapun ialah insan biasa yang sanggup terjerumus ke dalam kesalahan dan angkara murka yang merugikan masyarakat dan negara-bangsa.
Tidak ada seorang pun yang sanggup menjamin dirinya tidak bakal terjerumus ke dalam kesalahan atau kenistaan. Pengakuan ihwal kelemahan kemanusiaan ini merupakan perilaku tenggang rasa yang membuka pintu pemaafan. Karena itulah , Islam sangat menganjurkan perilaku empati.
Demikianlah , pemaafan yang telah menjadi cuilan integral dari perayaan Idul Fitri sepatutnya tidak hanya sekadar menjadi saling silaturahim dan berjabat tangan. Sebaliknya , Idul Fitri hendaknya sanggup menjadi momentum bagi pemaafan yang tulus dari seluruh warga bangsa sehingga islah , rekonsiliasi , dan perdamaian terwujud setrik berkelanjutan demi Indonesia yang tenang , maju , dan berkeadaban. Wallâhu a’lam bish-shawab.
Azyumardi Azra; Guru Besar Sejarah; Direktur SPS UIN Jakarta; dan 2014 Fukuoka Prize Laureate
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Fitrah Dan Islah: Hening Indonesia"