Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Pernak-Pernik Golkar

Ikrar Nusa Bhakti

Suhardiman , satu-satunya tokoh pendiri kelompok induk organisasi—populer lewat singkatannya: Kino—yang menjadi cikal bakal Golongan Karya yang masih hidup , niscaya amat duka melihat kondisi Partai Golkar dikala ini. Betapa tidak. Sejarah politik Partai Golkar merupakan sejarah yang panjang.

Golkar lahir dari suatu situasi politik yang mencekam pada kala selesai Orde Lama dan awal Orde Baru. Di tengah relasi segitiga sama sisi antara Presiden Soekarno di klimaks , Partai Komunis Indonesia (PKI) di kaki kiri , dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) di kaki kanan , tiga kolonel Tentara Nasional Indonesia AD pada kala selesai Demokrasi Terpimpin berupaya keras supaya jangan hingga PKI menjadi kekuatan mayoritas dalam politik Indonesia.

Caranya , pertama , di satu sisi Tentara Nasional Indonesia AD melalui Kolonel Suhardiman berupaya mencegah dilaksanakannya pemilihan umum pada kala itu guna mencegah PKI memenangi pemilu , yaitu dengan usulan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) supaya menimbulkan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup. Kedua , di sisi lain , tiga kolonel Tentara Nasional Indonesia AD yang di antaranya pernah menjadi asisten Bung Karno , membentuk organisasi massa untuk mengimbangi tumbuh dan berkembangannya ormas-ormas yang bernaung di bawah PKI.

Tiga organisasi itu ialah Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro) di bawah Kolonel Isman , Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR) di bawah Kolonel Soegandhi , dan Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia (SOKSI) yang kemudian bermetamorfosis Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia di bawah Kolonel Suhardiman. Tiga ormas itulah yang menjadi cikal bakal Golongan Karya.

Tumbuhnya Golkar tak terlepas dari peranan Bung Karno yang memperlihatkan kesempatan- kesempatan ekonomi dan politik yang begitu luas kepada—dalam konsepsi Bung Karno—golongan fungsional ABRI dan non ABRI. Bung Karno membubarkan Kabinet Ali Sastroamidjojo , kabinet hasil pemilu demokratis pertama pada 1955 , dan membentuk Kabinet Ahli (Zaken Kabinet). Kabinet Ahli ini terdiri atas gabungan antara anggota partai dan golongan fungsional sipil dan militer yang dipimpin oleh Ir Haji Djuanda pada 9 April 1957 dan berakhir pada 10 Juli 1959.

Pembentukan Zaken Kabinet pada 1957 ialah tonggak sejarah penting dalam sejarah Indonesia yang memberi ruang kepada militer untuk berpolitik. Pada 1957 pula militer menjadi kekuatan mayoritas dalam pengorganisasian negara sehabis Bung Karno menyatakan negara dalam keadaan darurat jawaban perang saudara yang disebabkan munculnya pemberontakan di kawasan , menyerupai PRRI , Permesta , Kahar Muzakkar , dan Republik Maluku Selatan. Pada 1957 pula Bung Karno memperlihatkan konsesi ekonomi kepada Tentara Nasional Indonesia AD dengan menempatkan kolonel-kolonel pada perusahaan-perusahaan aneh Belanda yang dinasionalisasi.

Singkat dongeng , kekuasaan Bung Karno mulai terkikis semenjak ia menyerahkan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) dan PKI dibubarkan oleh pemegang mandat Supersemar , Mayor Jenderal Soeharto , sehari setelahnya. Soeharto kemudian menjadi pejabat Presiden pada 1968 , sehabis dua pidato Bung Karno , Nawaksara , ditolak oleh MPRS. Soeharto pun membutuhkan satu kekuatan politik alternatif terhadap partai-partai politik untuk menopang legitimasi kekuasaannya , dan kemudian lahirlah Golkar yang meluas bukan saja dari tiga Kino tersebut , melainkan gabungan asosiasi politik dari bermacam-macam golongan.

Golkar , riwayatmu kini

Di kala Orde Baru , Golkar selalu berjaya pada Pemilu 1971 , 1977 , 1982 , 1987 , 1992—dan terakhir 1997—karna ditopang oleh birokrasi sipil dan kekuatan militer , khususnya Tentara Nasional Indonesia AD. Golkar menjadi the ruling party , jikalau tidak sanggup dikatakan sebagai the ruler’s party , meski Golkar sendiri tidak mau disebut partai politik lantaran konotasi parpol amat jelek jawaban deparpolisasi dan depolitisasi oleh penguasa Orde Baru.

Seiring dengan mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 , tiadanya induk semang , menyerupai Soeharto dan berakhirnya dwifungsi ABRI serta munculnya netralitas birokrasi sipil dalam politik , menimbulkan Golkar—yang semenjak awal reformasi berjulukan Partai Golkar—harus berjuang sendiri setara dengan partai-partai politik lain yang tumbuh kolam jamur di animo hujan. Setrik lambat , tetapi niscaya , Partai Golkar juga mengalami pembusukan dari dalam dirinya sendiri ketika sebagian elite politiknya—baik lantaran kalah bersaing untuk menjadi ketua umum Partai Golkar atau lantaran ingin eksis dalam politik—keluar dan membentuk partai sendiri.

Sempalan Partai Golkar pun bermunculan. Berawal dari Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) yang dipimpin Jenderal (Purn) Edi Sudrajat , Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dipimpin Jenderal (Purn) Wiranto , Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) di bawah Letnan Jenderal (Purn) Prabowo Subianto , Partai Demokrat di bawah Susilo Bambang Yudhoyono , hingga ke Partai Nasional Demokrat (Nasdem) pimpinan Surya Paloh.

Meski begitu , Partai Golkar tetap eksis sebagai partai pemenang pertama atau kedua pemilu legislatif di Indonesia. Sampai 2014 , Golkar juga selalu menjadi cuilan dari partai pendukung pemerintah. Namun , Partai Golkar tidak pernah berhasil menimbulkan calon presiden yang didukungnya terpilih pada setiap pemilu presiden langsung. Wiranto gagal pada Pilpres 2004 , Jusuf Kalla gagal pada Pilpres 2009 , dan yang sangat menyakitkan , Aburizal Bakrie bahkan gagal menjadi capres pada 2014!

Konflik internal di Partai Golkar semenjak 2014 merupakan yang terburuk dalam sejarah partai beringin ini lantaran memunculkan dua kubu kepemimpinan sebagai hasil dari dua musyawarah nasional yang berbeda , yaitu hasil Munas Bali di bawah Aburizal Bakrie (ARB) dan Munas Jakarta di bawah Agung Laksono.

Meminjam teori klasik kelas dan elite dari Gaetano Mosca yang menekankan karakteristik sosiologis dan personal , kelas penguasa (the ruling class) yang ada di Partai Golkar—yang terdiri atas para elite dan sub-elite yang berada di bawah kepemimpinan ARB—merasa diri mereka memiliki superioritas intelektual , moral , material dan memiliki imbas berpengaruh pada para elite lokal Golkar. Sebaliknya , kubu Agung Laksono yang dukungannya lebih kecil merasa memiliki legalitas aturan lantaran keberadaannya diputuskan oleh dua dari empat hakim Mahkamah Partai Golkar dan diberi angin segar untuk diakui oleh negara asalkan kepengurusannya mengakomodasi kelompok elite Golkar kubu ARB.

Kegamangan politik

Bila kita mendekatinya dari aspek psikologi dan superioritas intelektual para elite , meminjam teori elite klasik dari Vilfredo Pareto , para pendukung ARB juga masih merasa sebagai the gkelewat / overning elites yang berhadapan dengan non-gkelewat / overning elites di badan Partai Golkar. Mereka sulit mendapatkan bahwa sirkulasi elite atau kelas penguasa di badan Partai Golkar sanggup saja terjadi. Elite dan sub-elite pendukung ARB juga sulit mendapatkan kenyataan bahwa posisi politik mereka sanggup berubah dari elite atau kelas penguasa menjadi elite atau kelas yang tidak berkuasa di Partai Golkar.

Partai Golkar juga mengalami kegamangan politik dari the ruling party menjadi partai oposisi atau penyeimbang. Gaya berpolitik parlementer pun muncul kembali dikala mereka berupaya untuk mendapatkan pemberian teman-teman sekoalisinya di Koalisi Merah Putih (KMP) melalui upaya pengajuan hak angket terhadap Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Padahal , dalam sistem presidensial tidak dikenal hak angket terhadap menteri yang ialah pembantu presiden.

Kelompok ARB benar bahwa di kala reformasi dan demokrasi ini dilarang lagi ada intervensi pemerintah terhadap partai-partai politik , menyerupai yang dilakukan pemerintahan Orde Baru terhadap PPP dan PDI. Namun , intervensi politik mustahil terjadi bila semua elite di Partai Golkar , the ruling class ataupun kelas yang diperintah (the ruled class) sanggup menuntaskan konflik internalnya sendiri.

Inilah ujian terberat bagi Partai Golkar: apakah pelembagaan politik dan demokrasi internal sudah merasuk ke diri para elite Golkar , ataukah Golkar justru menjadi partai pariah yang legitimasi kepemimpinannya bergantung pada pemerintah.

Ikrar Nusa Bhakti; Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Pernak-Pernik Golkar"

Total Pageviews