Trias Kuncahyono
Bulan April 2011 , suatu siang. Kami duduk berdua dengan Andri Hardi di atas sebongkah besar reruntuhan bangunan kuno di atas puncak bukit Acropolis , Athena , Yunani. Waktu itu , Andri Hardi—yang kini Dubes RI di Singapura—menjabat sebagai Direktur Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri RI. Ia memimpin delegasi obrolan antarpenganut agama (interfaith) Indonesia-Yunani.
Dari puncak bukit Acropolis , Athena terlihat begitu indah. Athena , ibu kota Yunani itu , memang indah. Nama ibu kota Yunani itu diambil dari nama seorang dewi yang bagus jelita , berdasarkan mitologi Yunani. Athena ialah dewi budi , keteguhan hati , ide , peradaban , aturan dan keadilan , kesejahteraan , matematika , kekuatan taktik , serta seni.
Lihatlah di bawah sana , rumah-rumah putih berdempetan menyerupai kubus-kubus yang ditata rapi mengepung Acropolis yang berdiri kokoh. Ada penggalan yang berlatar maritim , yang biru airnya begitu kuat. Ada yang berlatar pegunungan—Parnitha , Imittos , dan Egaleo—yang mengelilingi Athena. Nyaris tak ada kehijauan pohon , yang terlihat hanya bangunan dan bangunan dari dataran rendah sampai merayap di kaki bukit.
Dulu , bagi bangsa Yunani , Acropolis ialah sentra segala-galanya. Di bukit ini bertemu mitologi , ibadah dari aneka macam agama , kepentingan politik , ungkapan kekuasaan , catatan dan peninggalan sejarah , seni , serta peradaban. Pada ketika yang sama , Acropolis menjadi monumen demokrasi yang menjadi struktur politik Yunani.
Di puncak Acropolis berdiri dengan megah sisa-sisa kuil Parthenon. Sisa-sisa kuil itu menjadi saksi peradaban dan seni Yunani pada masa lalu. Kuil Parthenon mulai dibangun pada 447 SM dan final pada 438 SM. Itu berarti bangunan itu sudah berdiri di puncak bukit Acropolis selama 2.500 tahun!
Parthenon merupakan ungkapan terima kasih rakyat Yunani di masa kemudian kepada Dewi Athena , tuhan penyelamat rakyat Athena dan Yunani dalam Perang Persia. Itulah sebabnya kuil itu diberi nama Kuil Perawan Athena; Parthenon berasal dari bahasa Yunani , parthenos , yang berarti perawan.
Parthenon ialah lambang. Parthenon ialah simbol. Ia lambang atau simbol keagungan demokrasi Athena kuno. Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani (dēmokratía) ”kekuasaan rakyat” , yang terbentuk dari (dêmos) ”rakyat” dan κρ (kratos) ”kekuatan” atau ”kekuasaan” pada kurun ke-5 SM untuk menyebut sistem politik negara-kota Yunani , salah satunya Athena. Sistem politik Athena Klasik , contohnya , memperlihatkan kewarganegaraan demokratis kepada laki-laki elite yang bebas dan tidak menyertakan budak dan perempuan dalam partisipasi politik.
Kini Parthenon menyerupai lambang atau simbol lain di dunia yang telah menjadi monumen. Katakanlah menyerupai mausoleum Lenin di Lapangan Merah , Moskwa , yang pada suatu masa menjadi simbol komunisme global , tetapi kini tak lebih sebagai tujuan wisata. Candi Borobudur dan Prambanan pada masanya menjadi kawasan pemujaan agung.
Setelah melihat Parthenon , ada kekhawatiran di dalam hati , bahkan ketakutan , Pancasila yang menjadi dasar dan roh demokrasi Pancasila bisa-bisa nanti menjadi simbol belaka. Hal itu mengingat hiruk-pikuk politik atas nama demokrasi di negeri ini tak kunjung selesai. Karena di sana tidak kita temui orang-orang berkarakter dan berjiwa demokratis: memiliki rasa hormat dan tanggung jawab , bersikap kritis , membuka diskusi dan obrolan , bersikap terbuka , bersikap rasional , adil , serta jujur.
Ya , sudahlah. Parthenon memang indah.
Trias Kuncahyono; Penulis kolom “Kredensial” Kompas Minggu
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Parthenon"