Franz Magnis-Suseno
EKSEKUSI enam terpidana perkara narkoba gres saja , lima di antaranya warga negara gila , menyebabkan reaksi keras dari beberapa pemerintah negara yang bersangkutan. Menurut penulis , reaksi-reaksi itu tak perlu terlalu dihiraukan. Pelaksanaan sanksi itu telah mengikuti proses aturan yang benar. Tidak kelihatan ada keteledoran dari pihak kita. Maka kita sendiri yang menetapkan gimana aturan yang berlaku di negara kita itu dilaksanakan.
Akan tetapi , tak sanggup tidak , eksekusi-eksekusi itu menyebabkan pertanyaan prinsip. Pertanyaan wacana kebenaran moral sanksi mati. Pertanyaan itu tidak kita jawab dengan mengintip pada pandangan negara lain , tetapi atas dasar kesadaran kita sendiri. Entah apa pandangan negara lain , harga diri kita sendiri menuntut supaya kita membersihkan sistem aturan kita dari segala unsur yang tidak etis , tidak manusiawi , tidak benar.
Berikut saya olok-olokan setrik singkat empat alasan mengapa , berdasarkan keyakinan saya , sanksi mati harus kita hapus. Pertama , sistem yudisial kita belum higienis dari praktik korup. Masa kita bersedia membunuh orang atas keputusan lembaga- forum yang tidak sanggup dipastikan kejujurannya!
Kedua yaitu prinsipiil: sanksi mati satu-satunya sanksi yang tidak sanggup dicabut sehabis dilaksanakan. Padahal , kemungkinan kekeliruan selalu ada. Sistem terbaik pun tidak sanggup 100 persen menjamin bahwa suatu putusan pengadilan tidak keliru.
Ketiga , menyangkut harkat kemanusiaan. Membunuh orang , kecuali untuk membela diri atau dalam pertempuran militer resmi yaitu tindakan yang tidak termasuk wewenang manusia. Bukan kita yang memasukkan diri kita ke dalam eksistensi dan bukan kita yang berhak mencabut eksistensi itu. Maka , menghukum penjahat dengan mencabut nyawanya gotong royong merupakan hujatan terhadap Yang Memberi Hidup. Tak kurang!
Mungkin orang bilang: bukankah sanksi mati belum begitu usang dilaksanakan di semua negara dan masyarakat di dunia dan dibenarkan oleh semua agama? Kok mendadak dianggap tidak sanggup dibenarkan? Argumen ini tidak kuat. Bahwa sebuah perbuatan (hukuman mati) disetujui luas tidak berarti perbuatan itu tidak sanggup jahat. Sama tidak benarnya menyerupai semboyan vox populi vox Dei: (”suara rakyat yaitu bunyi Tuhan”). Suara rakyat terperinci bukan bunyi Tuhan. Suara rakyat sanggup juga jahat. Tak ada bunyi manusia—baik seseorang , sekelompok orang , maupun semua orang—yang sama dengan bunyi Tuhan. Bukankah kita tahu , rakyat sanggup keliru , hati rakyat sanggup penuh dendam , iri , benci.
Bahwa begitu usang sanksi mati tidak dipersoalkan bukanlah bukti sanksi mati sanggup dibenarkan , melainkan kelonggaran sementara alasannya yaitu kekasaran hati manusia. Karena naluri mau balas dendam , insan butuh waktu untuk menyadari bahwa ia dilarang membunuh. Namun , lama-kelamaan insan jadi lebih mengerti , lebih bertanggung jawab , maka ia mulai memahami bahwa sanksi mati melampaui wewenang moralnya.
Pernah ada aturan ”mata demi mata , gigi demi gigi” (lex talionis , di Kitab Taurat). Namun , pada waktu itu , 3.000 tahun kemudian , lex talionis merupakan langkah maju dalam proses de-kasarisasi hati manusia. Waktu itu , jika orang memukul orang lain sehingga gigi atau mata hilang , ia bakal dibunuh. Lex talionis lantas membatasi: Kalau matamu ditusuk , kamu tak boleh membunuh , kamu hanya boleh tusuk mata dia. Namun , kini kita sudah maju. Kalau kini mata seseorang yang menusuk ditusuk kembali , itu barbar.
Jadi , ada kemajuan dalam perjalanan umat insan ke luar dari kekasaran. Dan sangat tepatlah sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Hukuman mati belum beradab.
Kalau dalam agama-agama dulu , sanksi mati tidak ditolak , tetapi ditetapkan sebagai sanksi atas perbuatan jahat tertentu , itu pun perlu dimengerti dalam rangka de-kasarisasi hati manusia. Daripada pelanggaran apa pun dibalas dengan membunuh pelanggar , sanksi mati—yang belum sanggup dihapus sama sekali alasannya yaitu insan masih terlalu kasar—dibatasi pada perbuatan kriminal paling jahat saja. Akan tetapi , yang gotong royong dimaksud: pada karnanya insan jadi sadar bahwa sanksi mati tidak pantas dan tidak dikehendaki Tuhan.
Bisa juga dikatakan: Tuhan sabar dengan kekasaran hati kita , tetapi tidak untuk selamanya.
Alasan keempat , berdasarkan kebanyakan andal , sanksi mati tak punya pengaruh jera. Ancaman sanksi mati tidak mengurangi kelakuan kriminal.
Ada beberapa pertimbangan tambahan. Di Indonesia ada orang yang gres dihukum puluhan tahun sehabis sanksi mati dijatuhkan , terutama beberapa orang yang dituduh ”terlibat G30S/PKI”. Eksekusi semacam itu kehilangan segala legitimasi. Di lain pihak Indonesia sudah cukup usang menahan diri dalam menjatuhkan sanksi mati. Hukuman mati sudah bukan sanksi rutin. Logika kenyataan positif itu adalah: akhiri sanksi mati sama sekali!
Tuntutan supaya kita mencoret sanksi mati dari aturan pidana kita bukan alasannya yaitu ikut-ikutan luar negeri , melainkan demi harga diri kita sebagai bangsa yang beradab.
Franz Magnis-Suseno; Rohaniwan; Guru Besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Eksekusi Mati"