Trias Kuncahyono
Demikianlah kata Sang Pengkhotbah , ”Untuk segala sesuatu ada masanya , untuk apa pun di bawah langit ada waktunya…ada waktu untuk perang , ada waktu untuk damai.” Dan , kini ini , ialah ”waktu untuk perang.” Berperang melawan tindak angkara marah , berperang melawan tindakan tidak berperikemanusiaan , dan berperang melawan kegelapan. Berperang untuk membuat perdamaian.
Umpama kata , inilah zaman peperangan antara kekuatan terang dan kegelapan; perang antara kekuatan kebaikan melawan kekuatan jahat. Apa yang terjadi di Suriah utara dan timur serta Irak utara menjadi pola yang paling pas untuk menjelaskan peperangan antara kekuatan terang dan kegelapan. Di wilayah itulah , kelompok yang menamakan dirinya Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) mengumbar angkara marah dengan menyingkirkan siapa saja yang dianggap tidak sejalan dengan ideologi dan doktrin , dengan kehendaknya.
Hingga Oktober tahun kemudian , tak kurang dari 14 wartawan Irak dibunuh dengan banyak sekali macam trik , ada yang ditembak , dipenggal kepalanya , dan ada pula yang dibakar hidup-hidup. Tentu jumlah tersebut belum termasuk wartawan dari AS dan Inggris , kontraktor asal Jepang dan pilot Jordania yang dibakar hidup-hidup. Masih banyak lagi korban NIIS , baik itu tentara Irak , tentara Kurdi , para pekerja sosial , wanita , bahkan anak-anak. Ratusan ribu orang mengungsi dan kelaparan.
Inilah horor yang paling seram di masa ke-21. Kalau semua itu dilakukan atas nama agama , sungguh sudah hancur dunia ini; kasihanilah agama. Bukankah tidak ada satu pun agama di dunia ini yang mengajarkan untuk saling membunuh , untuk membenci orang lain? Bukankah semua agama mengajarkan perdamaian dan hidup baik? Memang , agama sering tampil dalam dua wajah yang saling bertentangan.
Dari satu sisi , agama merupakan daerah di mana orang menemukan kedamaian dan impian yang kukuh. Dalam agama , banyak orang menimba kekuatan dan mendapat topangan berhadapan dengan penderitaan. Di sisi lain , agama sering dikaitkan dengan fenomena kekerasan (Haryatmoko , Etika , Politik dan Kekuasaan) , Padahal , menyerupai sudah disebut di atas , agama mengajarkan perdamaian dan menentang kekerasan. Namun , insan menyalahgunakannya untuk kepentingan eksklusif atau kelompok sehingga menyulut kekerasan.
Masuk nalar jikalau para pemimpin dunia pencinta tenang , masyarakat dunia yang mendambakan kehidupan yang kondusif dan tenang , saling menghormati sesama umat insan , ramai-ramai mengecam apa yang dilakukan NIIS. AS dan sejumlah negara termasuk negara-negara Arab , bahu-membahu mengerahkan kekuatan militer menggempur posisi NIIS.
Bahkan , Vatikan pun yang biasanya menentang penyelesaian setrik militer , kini mendukung penggunaan kekuatan militer. ”Kita harus menghentikan genosida ini ,” kata Uskup Agung Silvano Tomasi , utusan Vatikan di PBB Geneva.
Dunia , memang harus bersatu melawan kekuatan anti kemanusiaan , anti peradaban. Bukankah , tidak ada yang menginginkan bahwa ”yang baik bakal kalah?” Kekuatan kejahatan harus dikalahkan dengan segala trik , menyerupai yang digambarkan dalam Armagedon , di mana kekuatan kebaikan bakal melancarkan pertempuran terakhir melawan kekuatan jahat. Bila kekuatan kebaikan tak bisa mengalahkan kekuatan kejahatan , ini merupakan kegagalan kemanusiaan di zaman kini. Dan , inilah bencana masa ke-21!
Trias Kuncahyono; Penulis kolom “Kredensial” Kompas Minggu
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Armagedon"