Ikrar Nusa Bhakti
PARA anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2014-2019 yang gres dilantik pada Rabu , 1 Oktober 2014 , mempertontonkan sidang paripurna yang tidak apik untuk ditonton , kalau tidak sanggup dikatakan memuakkan. Pada Rabu malam sampai Kamis (2/10) dini hari itu , hujan interupsi dan teriakan begitu membahana , hanya untuk menentukan apakah sidang berlanjut malam itu atau ditunda keesokan harinya. Semua ini terkait dengan aktivitas sidang untuk menentukan pimpinan DPR dalam satu paket yang harus disetujui oleh paling sedikit lima fraksi yang berbeda.
Sidang Paripurna DPR dini hari itu kesannya dimenangi koalisi partai pendukung Prabowo-Hatta yang menyebut dirinya Koalisi Merah Putih (KMP) ditambah Fraksi Partai Demokrat yang menyapu higienis semua posisi pimpinan di DPR. Kelima pimpinan DPR periode 2014-2019 tersebut yaitu Ketua Setya Novanto (Fraksi Partai Golkar) , Agus Hermanto (Demokrat) , Taufik Kurniawan (PAN) , Fahri Hamzah (PKS) , dan Fadli Zon (Gerindra). Ini berarti koalisi partai pendukung Prabowo-Hatta yang kalah pada Pemilu Presiden 2014 memenangi pertarungan politik di Dewan yang sanggup dikatakan the loser takes all.
Pertanyaan yang muncul di benak kita yaitu , pertama , tidak adakah lagi prinsip kebersamaan (togetherness) , akal (wisdom) , dan musyawarah mufakat dalam politik Indonesia masa sekarang dan mendatang? Kedua , apakah politik Indonesia lebih ditentukan oleh personalisasi , adu kekuatan , dan balas dendam politik antar-aktor yang memiliki hegemoni dan dominasi kekuasaan di partai atau koalisi partai? Ketiga , tidakkah kepentingan bangsa , rakyat , dan negara seharusnya lebih didahulukan ketimbang kepentingan individu , kelompok , dan partai ibarat sumpah dan komitmen para anggota DPR yang terhormat?
Keempat , apakah pemerintahan Jokowi-JK bakal menjadi pemerintahan yang bagaikan ”Bebek Lumpuh” (lame-duck gkelewat / overnment) dalam lima tahun ke depan? Kelima , masih adakah titik terang dari jalan buntu politik dalam hubungan administrator dan legislatif ke depan?
Personalisasi politik
Pada siang harinya , bersama-sama Partai Demokrat (PD) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sama posisinya dengan koalisi empat partai pendukung Jokowi-JK , yakni PDI-P , PKB , Partai Nasdem , dan Partai Hanura , yang menginginkan semoga rapat pemilihan paket pimpinan Dewan dilaksanakan pada Kamis , 2 Oktober 2014. PPP kesannya berubah perilaku dan kembali ke koalisi partai pendukung Prabowo-Hatta , sementara PD juga mendesak rapat dilanjutkan malam itu juga.
Posisi PD ini terjadi akhir gagalnya pertemuan antara Ketua Umum PD Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri yang sedianya bakal dilakukan di Hotel Sultan pada Rabu (1/10) malam.
Di satu sisi , Presiden SBY yang juga Ketua Umum PD membuat pernyataan pers yang menyayangkan gagalnya pertemuan antara dirinya dan Megawati. Padahal , kalau pertemuan tersebut terjadi , kedua pemimpin itu sanggup duduk bersama untuk membitrikkan gimana menyelamatkan bangsa ini dari situasi ”pemerintahan yang terbelah” ini.
Di sisi lain , politisi senior PDI-P , Pramono Anung , menyatakan kepada pers bahwa Megawati mau bertemu dengan SBY pada Rabu malam itu asalkan didahului kolaborasi antara PD dan PDI-P beserta koalisinya dalam mengegolkan paket pimpinan Dewan versi koalisi partai pendukung Jokowi-JK. Prasyarat ini sebagai ujian apakah SBY benar-benar serius untuk menata bangsa ini ke depan ataukah SBY bakal kembali menelikung di tengah jalan ibarat dialami Megawati pada pilpres eksklusif pertama 2004.
Politik balas dendam
Kita juga tahu bahwa terlepas adanya bantahan dari partai koalisi partai pendukung Prabowo-Hatta , masih ada dendam politik akhir kekalahannya pada Pilpres 2014 kemudian sehingga sulit bagi koalisi itu untuk melaksanakan musyawarah mufakat dengan koalisi partai pendukung Jokowi-JK dalam segala hal di parlemen.
Koalisi Prabowo-Hatta setrik kebetulan merupakan partai mayoritas di DPR sehingga sanggup melaksanakan politik sapu higienis atas jabatan pimpinan Dewan dan posisi-posisi di alat-alat kelengkapan Dewan. Sebelumnya koalisi ini seminggu sebelumnya juga berjaya dalam mengegolkan RUU Pilkada menjadi UU yang mengubah pilkada eksklusif menjadi pilkada melalui DPRD. Ini berarti ada kelanjutan arah kebijakan politik yang dilakukan koalisi Prabowo-Hatta pada DPR periode 2009-2014 dan DPR 2014-2019.
Jika ini benar-benar terjadi , tampak terang kita bakal menyaksikan pemerintahan yang terbelah dalam lima tahun mendatang kalau tidak ada perubahan peta koalisi dalam setahun mendatang , dikala beberapa partai di koalisi Prabowo-Hatta ada yang harus melaksanakan musyawarah nasional ibarat Golkar atau muktamar ibarat PPP. Jika di kedua partai itu tak terjadi perubahan rezim , bukan tidak mungkin pemerintahan yang terbelah ini menjadi kenyataan alasannya pemerintahan Jokowi-JK hanya didukung koalisi minoritas di DPR (DPR).
Pimpinan partai di kedua kubu koalisi itu tentu masih memiliki hegemoni politik untuk memengaruhi trik pandang atau langkah politik partainya. Kelompok mayoritas di DPR juga bakal terus berupaya untuk tetap menjadi kekuatan hegemoni dan lebih banyak didominasi di parlemen. Ini yang menimbulkan jalan buntu di DPR dalam setiap persidangan kalau tidak ada perubahan peta koalisi atau paling tidak niat baik untuk membangun bangsa dan negara ini setrik bersama.
Sinar di ujung terowongan gelap
Kita masih menunggu apakah ego personal antara SBY dan Megawati bakal luluh dikala PDI-P dan PD sama-sama mendukung dua perppu yang diajukan SBY untuk mempertahankan pilkada eksklusif terus bertahan di negeri ini. Sebetulnya , SBY tidak perlu menandatangani UU Pilkada yang gres alasannya yang menyetujui RUU itu menjadi UU hanya 226 anggota dari 496 anggota yang hadir , yang berarti kurang dari 50 persen dan harus batal demi hukum.
Jika kolaborasi itu benar-benar terwujud , bukan tidak mungkin ini yaitu awal kolaborasi yang baik kedua partai demi masa depan bangsa dan demokrasi di negeri ini. Di tengah aneka macam kebuntuan politik , sesungguhnya masih ada sinar di ujung terowongan gelap. Jika ini terjadi , berarti kepentingan rakyat , bangsa , dan negara benar-benar diperjuangkan. Jika tidak , rakyat sebagai pemilik kedaulatan bukan tidak mungkin bakal membentuk DPR jalanan.
Itukah warisan politik yang ditinggalkan SBY? Ini juga taruhan politik bagi pemerintahan SBY yang harus menjawab aneka macam pertanyaan penerima gila yang bakal menghadiri Bali Democracy Forum , 10 Oktober mendatang , apakah kita mengalami kemunduran demokrasi atau bakal mematangkan demokrasi kita.
Ikrar Nusa Bhakti; Profesor Riset di LIPI
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Di Atas Dpr Masih Ada Rakyat"