Trias Kuncahyono
Hari Sabtu , 15 April 1961. Matahari gres bersiap muncul. Ketika kantuk masih menguasai kedua matanya , tiba- datang pemimpin Kuba , Fidel Castro , terbangun. Ia dikagetkan oleh deru dua pengebom B-26 yang terbang rendah di atas atap markas besar militer Kuba , Point One , di pinggiran Havana , Kuba. Kedua pengebom peninggalan Perang Dunia II itu terbang dari Nikaragua. ”Pesawat siapa itu?” teriak Castro kepada anggota stafnya. Tak satu pun menjawab pertanyaan itu. Tiba-tiba terdengar ledakan dari pinggiran Bandara Campo Libertad. Saat itulah dimulai invasi ke Kuba oleh Amerika Serikat.
Dua hari kemudian , 17 April 1961 , 1.400 orang Kuba dalam pengasingan di AS , yang sudah dilatih CIA di Guatemala , menyerbu Kuba. Jim Rasenberger dalam bukunya , The Brilliant Disaster (2011) , menceritakan , pembentukan milisi itu yang kemudian tergabung dalam Brigade 2506 atas perintah Presiden Dwight D Eisenhower sehabis relasi diplomatik kedua negara putus , Januari 1961 , sebagai jawaban dari Perang Dingin. Kuba dikala itu menjadi sekutu Uni Soviet di bawah kepemimpinan Nikita Khrushchev.
Namun , invasi ke Kuba—tujuan utamanya menyingkirkan Castro yang komunis dan membentuk pemerintahan pro Washington—atas perintah Presiden John F Kennedy. Invasi inilah yang kemudian disebut sebagai Invasi Teluk Babi alasannya yaitu mereka masuk Kuba lewat Bahia de Cochinos atau Teluk Babi.
Operasi militer ini gagal. Bahkan , sejarawan AS , Theodore Draper , menyebutnya sebagai ”gagal total”. AS yang berpenduduk 180 juta orang dipermalukan negara berpenduduk 7 juta orang. Hanya dalam tempo 24 jam , operasi militer itu dapat ditumpas Castro yang mengerahkan 20.000 tentara. Banyak anggota milisi melarikan diri masuk ke maritim , hampir 1.200 orang mengalah , dan lebih dari 100 orang tewas.
Meski memukul mundur serbuan milisi dukungan AS , Kuba tak mau bertepuk dada. Dengan pertolongan Uni Soviet , negeri di ”halaman belakang AS” ini memperkuat diri. Atas undangan Kuba—juga sebagai jawaban atas penempatan rudal balistik Jupiter di Italia dan Turki oleh AS—Uni Soviet bersedia menempatkan rudal balistiknya di Kuba. Inilah yang kemudian memunculkan ”Krisis Rudal Kuba” atau ”Krisis Oktober” atau ”Krisis Karibia”. Krisis yang berlangsung selama 13 hari pada Oktober 1962 ini membawa dunia di ujung Perang Dunia III: AS berhadap-hadapan dengan Uni Soviet. Sejak itulah relasi AS dan Kuba yang putus semenjak 1961 semakin beku.
Kebekuan relasi selama lebih dari setengah kala itu , hari Rabu , 17 Desember kemudian , mencair sehabis Presiden AS Barack Obama menyetujui restorasi relasi diplomatik setrik penuh dengan Kuba. Pengumuman Obama itu menjadi puncak negosiasi diam-diam kedua negara selama 18 bulan atas pertolongan Paus Fransiskus di Kanada. Perundingan diam-diam dimulai sehabis Paus Fransiskus mengirimkan ”surat permintaan” kepada Presiden Obama dan Presiden Kuba Raul Castro. Surat itu antara lain meminta supaya Kuba membebaskan Alan Gross (65) , warga AS yang ditahan Kuba semenjak 2009 alasannya yaitu memberi perlengkapan satelit kepada komunitas Yahudi di Kuba.
Akhir dari negosiasi itu tak hanya komitmen pembebasan Gross , pembebasan dan repatriasi tiga spion Kuba yang dipenjara di AS , pembebasan intel AS di Kuba , Rolando Sarraf Trujillo , pembebasan 52 tahanan politik oleh Pemerintah Kuba , tetapi yang lebih penting lagi yaitu pemulihan relasi diplomatik kedua negara dan itu berarti pencabutan embargo perdagangan atas Kuba.
Pemulihan relasi diplomatik ini bagi Kuba yang kini sedang kesulitan keuangan (karna patron utamanya Venezuela dilanda krisis alasannya yaitu turunnya harga minyak) sangat besar artinya. Demikian juga bagi AS. Selama ini , meski ada embargo perdagangan , Kuba , berdasarkan World Food Programme , mengimpor hampir 80 persen kebutuhan pangannya dari AS. Tiga produk unggulan yang diimpor Kuba yaitu ayam beku , jagung , dan tepung kedelai untuk pakan ternak.
”Ini kemenangan bagi rakyat Kuba ,” tulis Eugene Robinson di The Washington Post , penulis buku The Last Dance in Havana , Tarian Terakhir di Havana. Barangkali ini ”tarian terakhir” Castro bersaudara sebelum negerinya terbuka dan disapu gelombang demokratisasi dan pasar bebas.
Trias Kuncahyono; Wartawan Senior Kompas
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Tarian Terakhir"