Acep Iwan Saidi
Itulah situasi kehidupan ketatanegaraan dan kebangsaan kita hari ini. Para pejabat berada di dalam penjara sistem yang tertulis di atas kertas sebagai UU atau peraturan , tetapi sekaligus lantaran itu mereka bersikap ambivalen. Di satu sisi , UU dianggap sebagai momok menyeramkan , tetapi pada ketika yang sama juga diakali: mengambil yang menguntungkan dan menghindari yang membahayakan. Di antara para pejabat yang ambivalen itu ialah para penjahat yang tidak memperhitungkan apa pun , selain pertimbangan yang menguntungkan diri sendiri.
Penjahat terang sosoknya meski kita gres mengetahuinya sehabis ditangkap atau dinyatakan aturan sebagai penjahat. Namun , mereka yang mengakali aturan dengan perilaku ambivalen di atas sulit dilacak jejak kejahatannya. Mereka bersembunyi di dalam wilayah abu-abu. Kita tak sanggup , contohnya , melipatgandakan eksekusi kepada koruptor yang tetap tambun lantaran mendapatkan uang pensiun , tak sanggup menghakimi wakil gubernur yang terus berdagang di televisi , juga tak sanggup memenjarakan anggota dewan perwakilan rakyat yang terus melawak. Soalnya memang tidak terdapat UU yang mengaturnya. Hanya pertimbangan etika yang sanggup mencegah tindakannya. Namun , hal ini gres sanggup dilakukan jikalau mereka punya kesadaran perihal etika.
Di samping itu , kita juga tidak sanggup memberi hukuman kepada seorang birokrat yang menolak jadi penanggung jawab sebuah proyek lantaran takut terjebak tindakan korupsi. Bukankah juga sudah usang beredar rumor: kiprah perjalanan dinas di aneka macam departemen banyak dihindari lantaran laporan dan pengawasannya yang ketat. Hanya anggota dewan perwakilan rakyat , barangkali , yang sanggup dengan leluasa melaksanakan perjalanan dinas dan studi banding ke luar negeri lantaran mereka sendiri yang membuat aturannya.
Karena demikian situasinya , dapatlah dipastikan dua hal. Pertama , banyak jadwal yang bergotong-royong manis , tetapi tidak terselenggara lantaran tidak ada yang berani bekerja di bawah aturan dan pengawasan ketat. Kedua , jikalau jadwal itu terselenggara , hal yang paling menyibukkan ialah penyusunan laporan keuangan—tentu juga dengan mengakali di bab mana penggelembungan sanggup dilakukan. Karena hal inilah sanggup dipastikan bahwa bahan dan substansi jadwal itu sendiri bakal terabaikan. Jelas , di situ , tanggung jawab moral di hadapan pekerjaan telah hilang.
Matinya manusia
Ketika UU telah dijadikan alasan untuk lari dari tanggung jawab di satu sisi dan pada sisi lain ketidaktertulisan sebuah peraturan di atas kertas telah dimanfaatkan untuk melaksanakan tindakan tidak patut , sanggup dikatakan bahwa nilai kemanusiaan insan pelakunya telah mati. Pada kasus mereka yang ketakutan pada aturan , peraturan terang telah mengakibatkan subyek insan tidak berdaya. Akal sehat mati di hadapan ”mesin sistem”.
Ketimbang menjadi subyek yang dengan nalar sehat mengemudikan sistem , mereka menjadi sistem itu sendiri. Mereka tidak lagi menjadi insan , tetapi menjadi mesin. Kematian insan sedemikian mengakibatkan peradaban mengalami jalan buntu (deadlock kemanusiaan).
Sementara itu , menjadi lebih tragis pada kasus mereka yang memanfaatkan ketidakadaan peraturan tertulis untuk melaksanakan tindakan yang menguntungkan diri sendiri. Di samping telah memanfaatkan kesempatan dari keburukan UU (memancing di air keruh) , mereka meyakini bahwa kebaikan , etika , moralitas , atau apa pun namanya , hanyalah soal yang tertulis di atas kertas. Di luar itu , tidak ada peraturan. Walhasil , mereka menjadi insan yang jiwanya terserak di atas kertas , jiwa yang mati—meminjam Nikolai Gogol.
Tragisnya , kertas itu sendiri kini tengah mengalami krisis eksistensi , didesak dunia digital nyaris di seluruh bidang kehidupan. Generasi hari ini tampak lebih banyak menggunakan tuts-tuts dan layar komputer untuk menulis. Bisa dibayangkan gimana yang bakal terjadi pada generasi mendatang. Kertas mungkin hanya bakal menjadi sejarah , segimana kita mencatat sejarah zaman watu atau perunggu.
Setiawan Sabana dan 19 perupa lain , termasuk dari Singapura , Korea , dan Malaysia , merepresentasikan kegelisahan ini melalui ekspo karya rupa kertas di Museum Sribaduga Bandung , 1-14 November 2013. Melalui karya berjudul ”Bumi Kertas” , Sabana sendiri mewujudkan kertas sebagai ”yang melayang” di awang-awang dan ”yang gosong” di bumi. Peradaban kertas sedang masuk ke usia senja kala.
Jika intuisi Sabana dan seniman lain benar , sanggup dibayangkan yang bakal terjadi pada insan yang meletakkan moralitas hanya pada peraturan di atas kertas. Dunia digital membangun tradisi kelisanan melampaui tradisi yang dibangun radio dan televisi , oleh Walter J Ong (2004) disebut sebagai tradisi mulut tingkat kedua.
Tradisi digital komputer membawa kita pindah dari masyarakat socious ke komunitas jaringan , yang oleh Bard (2002) disebut sebagai netokrasi. Inilah peradaban yang ditandai oleh login dan logout , tetapi memiliki efek jelajah yang luar biasa. Ini yang pada diskusi di Bentara Budaya Jakarta (12 Oktober 2013) saya sebut sebagai tradisi mulut tingkat ketiga. Dalam tradisi ini , semua bersifat sementara.
Jelas , untuk memasuki peradaban digital , hal-hal berkaitan dengan etika dan moralitas harus benar-benar embedded dalam diri manusia. Tidak ada peraturan dan perundang-undangan yang tertera , tidak ada data yang sanggup dipercaya; semua sanggup ditulis dan dihapus dalam sekejap. Patokan segala aturan hanya ada pada diri yang mumpuni , kemanusiaan dituntut sempurna.
Maka , enyahlah dari kini manusia-manusia yang untuk menegakkan etika dan moralitas hanya mengacu pada aturan di atas kertas. Masa depan hanya butuh insan ”yang hidup” , bukan ”rangka yang berjalan”!
Acep Iwan Saidi; Ketua Forum Studi Kebudayaan Institut Teknologi Bandung
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Di Atas Kertas"