Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Pancasila Di Tengah Kampanye Hitam

Yudi Latif

APA yang kita persengketakan ini tidak terang juntrungannya. Jika kemenangan ini benar-benar demi rakyat , mengapa harus diraih dengan menipu rakyat lewat tipu muslihat kabar kebohongan?

Negara ini tak bisa dipimpin oleh kebohongan. Sekali kita menggunakan kebohongan sebagai trik meraih dan mempertahankan kekuasaan , manipulasi dan destruksi menjadi tak terelakkan sebagai praktik memimpin. Hasil selesai dari tindak kebohongan ini yaitu pengabaian rakyat dan ketidakpercayaan setrik berkelanjutan.

Dalam beberapa tahun terakhir , tentang publik jumbuh dengan ungkapan keprihatinan terhadap trik memimpin dengan siasat kebohongan. Sedemikian mengguritanya praktik manipulatif di negeri ini sehingga darah dan tulang negara ini bukan lagi merah dan putih , melainkan hitam. Kita tidak tahu lagi pihak mana yang bisa dipercaya alasannya yaitu banyak sekali kasus dan perjuangan penanganannya penuh dengan rekayasa kebohongan.

Tibalah kita pada fase sejarah yang murung. Di negeri ini , kebohongan dan korupsi tidak saja telah bermetamorfosis menjadi kategori moral kolektif tersendiri , tetapi juga menjadi pilar utama negara. Dengan korupsi dan kebohongan sebagai pilar utama , setiap perjuangan memperjuangkan pemerintahan yang higienis , transparan , dan akuntabel mirip menegakkan benang basah. Kehidupan publik tak punya landasan untuk bisa saling percaya.

Di republik yang penuh dusta dan manipulasi , persahabatan madani sejati hancur. Setiap warga berlomba mengkhianati negara dan sesamanya; rasa saling percaya lenyap alasannya yaitu sumpah dan keimanan disalahgunakan; aturan dan institusi lumpuh tak bisa meredam penyalahgunaan kekuasaan. Ketamakan dan hasrat meraih kehormatan rendah merajalela. Akhirnya , timbul kematian dan pengasingan: kebaikan dimusuhi , kejahatan diagungkan. Krisis multidimensi membayangi kehidupan negeri.

Kita menginginkan kepemimpinan gres untuk memulihkan kepercayaan di ruang publik. Namun , menyerupai keledai yang terperosok ke lubang yang sama untuk kedua kalinya , trik kita menyongsong kepemimpinan gres ini terjebak dalam spiral kebohongan yang sama.

Upaya meraih sumbangan pemilih dilancarkan melalui formasi kampanye hitam. Di balik keelokan visi-misi calon presiden-calon wakil presiden yang bertabur jargon keagungan Pancasila , jaringan tim kemenangan diagarkan merancang dan menyebarluaskan kabar dusta. Serangan kampanye hitam ini kolam anak panah yang diagarkan menembus perisai terdalam Pancasila yang berpotensi mematikan dasar kebersamaan hidup.

Dalam agresi ini , tak segan nama Tuhan diseru untuk tujuan kebiadaban. Pemulihan rasa saling percaya lenyap dikala agama yang seharusnya membantu insan menyuburkan cinta kebenaran , rasa kesucian , kasih sayang , dan perawatan (khalifah) justru memantulkan kebohongan dan kekerasan zaman dalam bentuk penghilangan tabayun (pengecekan kebenaran informasi) dan undangan permusuhan.

Gempa besar yang menimpa fundamen etis dan nilai spiritual bangsa ini membuat rumah kebangsaan rusak pada sistem pertahanan terdalamnya. Sejatinya , untuk keluar dari krisis kepercayaan , suatu bangsa tidak hanya memerlukan transformasi institusional , tetapi juga membutuhkan transformasi spiritual yang mengarahkan warga bangsa pada kehidupan etis penuh welas asih. Dalam proses transformasi ini , mirip ditekankan Karen Amstrong dalam The Great Transformation (2006) , problem agama tak berhenti pada apa yang kita percaya , tetapi terutama pada apa yang kita perbuat. Karena itu , agama perlu lebih menekankan pentingnya kesepakatan etis dengan menempatkan moralitas pada jantung kehidupan spiritualitas.

Pentingnya visi spiritual berdimensi etis sebagai jangkar eksistensi bangsa disadari sepenuhnya oleh pendiri bangsa. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 terdapat pengukuhan yang rendah hati dan rasa syukur bahwa kemerdekaan Indonesia bisa dicapai ”Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa”. Menurut Mohammad Hatta , dengan pengukuhan ini , pemenuhan harapan kemerdekaan Indonesia untuk mewujudkan suatu kehidupan kebangsaan yang merdeka , bersatu , berdaulat , adil dan makmur mengandung kewajiban moral. Kewajiban etis yang harus dipikul dan dipertanggungjawabkan oleh segenap bangsa bukan saja di hadapan sesamanya , melainkan juga di hadapan Tuhan Yang Mahakuasa.

Lebih lanjut , Bung Hatta menyatakan , Ketuhanan Yang Maha Esa tidak hanya dasar hormat-menghormati antar-pemeluk agama , tetapi juga jadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran , keadilan , kebaikan , kejujuran , dan persaudaraan. Dengan demikian , fundamen moral menjadi landasan dari fundamen politik (dari sila kedua hingga kelima).

Nilai-nilai ketuhanan yang dikehendaki Pancasila , meminjam istilah Bung Karno , yaitu nilai-nilai ketuhanan yang berkebudayaan dan berkeadaban , yakni nilai-nilai etis ketuhanan yang digali dari nilai profetis agama yang bersifat inklusif , membebaskan , memuliakan keadilan dan persaudaraan; ketuhanan yang lapang dan toleran yang memberi semangat kegotongroyongan dalam rangka pengisian etika sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Memulai prosesi pengundian calon presiden-calon wakil presiden sempurna di hari kelahiran Pancasila , 1 Juni , semestinya menerbitkan fajar keinsafan bagi calon pemimpin bangsa dan tim suksesnya untuk berkampanye dengan tegak lurus di atas nilai-nilai Pancasila. Politik yang luhur tidak hanya mempersoalkan mana yang menang dan untungnya , tetapi juga mempertanyakan setrik fundamental ”apa yang benar” menurut moral Pancasila.

Yudi Latif; Pemikir kenegaraan dan kebangsaan

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Pancasila Di Tengah Kampanye Hitam"

Total Pageviews