Ahmad Khotim Muzakka
PEREBUTAN RI-1 semakin menarik ketika masing-masing kubu—baik Prabowo Subianto maupun Joko Widodo—berhasil menarik gerbong yang memiliki relasi dengan kiai dan pesantren. Tidak sanggup ditampik bahwa restu kiai memiliki nilai dan diduga berpengaruh sanggup menjadi penarik massa pemilih.
Hadirnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di kubu Jokowi-Jusuf Kalla merepresentasikan perwakilan ”partai kiai” alasannya ialah setrik historis dan ideologis partai ini lahir dari rahim pemikiran para kiai.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) , sang pendiri partai , merupakan pola faktual bahwa partai ini memiliki relasi historis kental dengan dunia kiai meskipun , pada hasilnya , terjadi pecah kongsi antara kubu Muhaimin Iskandar dan Gus Dur. Namun , aroma tersebut masih menempel kuat.
Kubu Prabowo-Hatta Rajasa didukung lebih banyak partai Islam. Partai Amanat Nasional , Partai Persatuan Pembangunan , dan Partai Keadilan Sejahtera merupakan lumbung yang signifikan bila sanggup digarap dengan lebih elegan. Di atas kertas , derma partai Islam memang signifikan. Namun , waktu kampanye , debat calon presiden (capres) , dan banyak sekali faktor lainnya sanggup berperan mengubah konstelasi suara.
”Sowan” kiai
Tidak mengherankan bila dalam safari kampanye para kandidat selalu ada program kunjungan ke kediaman kiai-kiai. Sebelum Jokowi sowan (berkunjung) ke rumah Kiai Maimun Zubair , Prabowo sudah lebih dulu ke sana. Mereka juga segera bergantian mengunjungi kediaman KH Mustofa Bisri di Rembang , Jawa Tengah.
Apa makna simbolik dari kunjungan tersebut? Kita tahu bahwa kiai di dunia pesantren memiliki daerah yang khusus. Kebijakannya sering diperhitungkan oleh santri-santri , baik yang masih berstatus sebagai santri maupun alumni. Seorang santri yang sudah tidak lagi tinggal di pesantren masih merasa memiliki relasi spiritual dan kultural dengan tradisi pesantren , termasuk di dalamnya segala pernik kebijakan yang ditelurkan oleh sang kiai.
Mendekatkan diri dengan kiai berarti setrik tidak eksklusif sang capres sedang memperlihatkan pesan kepada calon para pemilih. Bahwa sang calon telah sowan kepada sang kiai. Dalam tataran yang lebih ekstrem sanggup memunculkan wacana ”capres” tertentu menerima restu dari kiai tersebut. Itulah kesan yang coba dibangun terhadap kesadaran calon pemilih dari kalangan santri.
Bisakah logika tersebut diterapkan di tengah dinamika politik sampaumur ini? Dalam bukunya ,Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan (2004) , Dr Endang Turmudi menegaskan bahwa meskipun posisi kiai masih diperhitungkan , tugas kiai dalam politik tidak begitu nyata.
Dalam artian , kecenderungan seorang kiai dalam satu politik tertentu tidak lantas linear dengan keputusan pemilih meskipun para pemilih tersebut menimbulkan kiai yang bersangkutan sebagai panutan dalam kehidupan keseharian.
Alkisah , segimana dituturkan Turmudi (2004: 246-258) , pada Pemilu 1992 seorang responden tidak setuju dengan kecenderungan politik yang diambil oleh seorang kiai di Jombang. Karena tidak puas dengan proposal yang diberikan ”kiai lokal” tersebut , ia lantas meminta petunjuk kepada kiai yang lebih senior. Maka , ia berkunjung ke rumah sang kiai yang berdomisili di Magelang , Jawa Tengah.
Ternyata , ia menerima tanggapan yang sesuai dengan pendapatnya di sana. Responden puas dan setuju dengan kiai tersebut. Alhasil , beliau tetapkan pilihan menurut pilihan atas petuah yang didapatkan dari kiai di Magelang.
Pilihan pribadi
Artinya bahwa meski seseorang menimbulkan sosok kiai sebagai panutan terutama terkait akidah keagamaan , sejatinya dalam ranah yang lebih luas setiap orang sanggup memilih perilaku wacana pilihan politiknya. Apalagi pada zaman gosip ini pemilih tidak berada dalam ruang kosong yang hampa.
Maka , kunjungan politik sejumlah politikus ke rumah kiai-kiai bergotong-royong lebih merupakan silaturahim politik. Suatu hal yang juga dilakukan dengan mengunjungi sesama elite politikus lain.
Hanya saja , bila kunjungan yang dilakukan sesama politikus memperlihatkan sejauh mana langkah-langkah politik yang telah dilalui , kunjungan ke kiai memiliki pesan implisit dan lebih bernuansa kultural. Yang pertama menimbulkan instrumen politik yang sanggup dihitung setrik matematis , baik perolehan derma dalam bentuk materiil , moral , maupun sumber daya manusia. Yang kedua lebih menukik ke alam bawah sadar kita wacana potensi bunyi yang mungkin diraup.
Politik restu kiai semakin seru alasannya ialah masing-masing kubu menampilkan ikon dari kalangan Nahdlatul Ulama. Ada nama Khofifah Indar Parawansa dan Mahfudz MD. Politik restu kiai , saya kira bakal terus mengecambah seiring makin dekatnya ketika pemilihan presiden. Kita tinggal menunggu , kubu mana yang sanggup memanfaatkan ”restu kiai” setrik lebih maksimal dan proporsional.
Ahmad Khotim Muzakka; Mahasiswa Magister pada Center for Religious and Cross-cultural Studies; Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Politik “Sowan” Kiai"