Acep Iwan Saidi
Buruh meniscayakan barang. Meskipun digantikan mesin , posisi buruh di hadapan barang tak pernah hilang. Mesin butuh dioperasikan. Buruh operatornya.
Setrik metaforik , buruh adalah mesin. Jam kerja ialah tombol untuk mengoperasikan buruh sebagai mesin. Bagi buruh , lonceng mulai kerja jadi semacam tanda masuk bagi ”transformasi diri menjadi mesin” hingga lonceng yang sama sebagai tanda waktu keluar berdentang.
Di dalam proses produksi barang dengan situasi badan menyerupai itu , buruh tak pernah mengetahui sejarah barang. Sebelum tercipta barang , buruh tidak hadir di dalam konsep dan perencanaan. Pun begitu sesudah barang tercipta , buruh tidak ada di dalam distribusi. John A Walker (1989) menggambarkan bahwa posisi buruh berada pada tahap produksi kedua di antara desain prototipe dan barang desain.
Tampak di situ pertemuan buruh dengan barang hanya terjadi di pabrik dalam waktu yang sangat singkat. Pertemuan itu bersifat mekanistik. Mereka mungkin juga banyak yang tak tahu perihal barang yang dibuatnya. Seperti buruh pembuat aksara pada zaman peralihan dari peradaban mulut ke tulis , mereka tak mengerti apa yang mereka kerjakan. Mereka tidak bisa membaca , tetapi setiap hari merangkai bacaan (Ong , 1982). Dalam sebuah riset di Bali (2009) , saya menemukan beberapa dewasa pembuat kerajinan dari kayu berwujud tuhan dan dewi dalam narasi kehidupan spiritual masyarakat Bali , tidak tahu-menahu soal dewa/dewi itu. Mereka hanya buruh , belahan dari ”instalasi pabrik” kerajinan Bali.
Fakta demikian tentu merupakan ”ironi kemanusiaan”. Buruh seolah tidak berhak atas pengetahuan apalagi hal-hal ideal dalam hidup. Majikan tidak membutuhkan hal itu dari buruh. Majikan hanya membutuhkan keringat yang produktif , yakni keringat yang menghasilkan barang. Untuk produktivitas demikian , majikan hanya berkewajiban membayarnya dengan sejumlah uang yang disebut upah.
Lantas di mana posisi negara (pemerintah)? Pada ”negara konglomerasi” menyerupai Indonesia , yang pembangunannya berpihak kepada pemilik modal , jelas negara tak berada dalam barisan buruh. Kebijakan negara , dengan banyak sekali retorikanya , selalu tidak bisa memberi ”laba” bagi buruh. Alih-alih memberi keuntungan , trik pandang dan sikap pemerintah menyerupai pengusaha. Pemerintah masih melihat buruh sebagai pengupah: insan yang harus dihargai dengan upah belaka. Itu sebabnya kebijakan melindungi buruh terepresentasi dalam peraturan yang disebut upah minimum regional (UMR) bukan kesejahteraan minimum regional (KMR).
UU atau peraturan memang selalu merupakan generalisasi dan reduksi atas fakta sikap masyarakat yang diaturnya. Sistem tak pernah bisa menampung kompleksitas. Namun , kesejahteraan yang disistematisasi dalam wujud upah (uang) kiranya terlalu menyederhanakan permasalahan. Uang hanya satu aspek yang membuat hidup sejahtera. Nilai uang bukan terletak pada jumlahnya , melainkan pada gimana sikap terhadapnya.
Pasar semiotik
Situasi demikian diperparah oleh kian berjaraknya buruh dari barang—yang notabene dibuatnya itu—manakala mereka keluar dari pabrik. Di dalam kehidupan sehari-hari mereka barang bahkan jadi benda abnormal yang sulit dikenali dan tak bisa dijangkau.
Ketika masih di pabrik , nilai nominal barang berbanding lurus dengan nilai fungsinya. Namun , nyatanya bukan nilai ini yang dikirim dan berlaku di pasar. Sebelum hingga di pasar , barang dimasukkan dalam ”salon bahasa” , dicuci sedemikian rupa sehingga berkembang menjadi wujud yang lain. Sebuah produk pencuci rambut (sampo) , contohnya , mungkin harga awalnya hanya 25 persen dari harga pasar. Penambahan harga 75 persen terjadi saat barang ditransaksikan melalui pasar citra. Taruhlah sampo tadi diiklankan oleh seorang selebritas ternama dengan pengarakteran yang menarik dan didukung teknologi visual yang bagus. Dengan proses ini harga sampo pun melangit. Transaksi harga barang , merujuk Judith Williamson (1978) , justru terjadi di sini , bukan saat barang dibeli oleh konsumen.
Pencitraan barang sedemikian ialah trik nilai fungsi barang diubah menjadi nilai semiotik (tanda). Dengan proses ini , nilai barter mengikuti nilai semiotiknya , serendah apa pun nilai tersebut. Terciptalah apa yang ingin saya namai sebagai pasar semiotik. Di pasar ini , barang-barang tidak berkembang menjadi sebagai pemenuh kebutuhan , tetapi sebagai pemuas keinginan. Di sisi lain , pasar semiotik setrik terus-menerus mengelola harapan menjadi seakan-bakal kebutuhan.
Pasar semiotik ialah panorama tanda , sihir visual. Pasar ini menjadikan yang visual menjadi konsumsi sehari-hari (Schroeder , 2002). Di pasar semiotik , harga barang sangat mahal lantaran penciptaannya pun memang sangat mahal. Biaya pemasaran barang sering jauh lebih mahal daripada biaya produksi. Bukan pemodal bergotong-royong yang mengongkosinya , melainkan konsumen. Semua biaya dikalkulasi menjadi harga barang yang dibebankan kepada konsumen.
Situasi itu terperinci memperlebar jarak antara buruh dan barang. Di dalam pabrik , buruh hanya pembuat barang , bukan pencipta tanda. Keringat buruh yang dikonkretkan di dalam wujud upah ialah keringat barang , bukan keringat tanda. Maka , gimana mungkin keringat barang bisa ditukar dengan keringat tanda? Alih-alih bisa menukar atau membelinya , yang terjadi justru ketegangan psikologis. Ketegangan psikologis yang menumpuk di satu sisi dan tak adanya transfer pengetahuan yang memanusiakan buruh pada sisi yang lain berpotensi besar menyebabkan ketegangan sosial.
Untuk mencegah ini , perspektif UMR harus diubah menjadi perspektif KMR. Meminjam istilah Jokowi , terhadap buruh harus dilakukan prosedur ngewongke uwong , memanusiakan insan , bukan hanya memeras keringatnya.
Acep Iwan Saidi; Komisaris Warung Narasi Bandung
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Semiotika Buruh Dan Barang"