Radhar Panca Dahana
Sejujurnya sangat menjenuhkan—bahkan menggelikan—untuk berpikir atau menulis mengenai hal yang hari-hari ini menjadi tren atau semacam trending topic dalam media sosial. Sebuah kecenderungan yang menyuburkan tumbuhnya fashioned atau fad intellectual. Semacam pemikir atau pengamat yang menggunakan kelincahan literer dan pelisanan , bukan pikirannya , sekadar sebagai gincu untuk mengikuti informasi publik menyerupai kita tergiur oleh busana dan gadget terbaru hanya alasannya ialah renda-renda atau fitur pemanis yang lucu.
Namun , itulah yang harus saya lakukan , sekali lagi , membahas sebuah frasa pendek "revolusi mental" , produk politik yang bagi saya lebih menghebohkan , lebih besar , bahkan berpeluang lebih bisa membuat perubahan mendasar , ketimbang bangku kekuasaan (kepresidenan) yang karnanya dimenangi seseorang lewat proses yang melodramatik dan sarat preseden. Kedua hal itu berhulu kepada seorang pengusaha mebel yang tidak punya latar elitis atau kelas penguasa dalam dimensi apa pun , seorang dengan kesederhanaan begawan: Joko Widodo (Jokowi).
Peluang membuat perubahan mendasar , satu bentuk perubahan yang setrik instingtif dibutuhkan masyarakat banyak , itulah yang berdasarkan saya perlu dikawal , jikalau sanggup dibantu setrik maksimal , sekurangnya menghindarinya dari pendangkalan makna , reduksi dari tujuan-tujuan idealnya , bahkan penyelewengan dari intensi dasarnya. Hal ini menjadi urgen ketika ternyata banyak salah tafsir terjadi pada inspirasi itu , berangkat dari salah tafsir wacana empunya inspirasi itu sendiri , Jokowi. Impresi , impian palsu , sampai delusi terhadap sosok Jokowilah harus dicegah alasannya ialah tidak saja merugikan Jokowi sendiri , pada gilirannya ia bakal merugikan signifikansi sampai implementasi dari "revolusi mental" yang menjadi tag line kekuasaan yang sekarang digenggamnya.
Kecerdasan tradisional
Hal pertama dan utama ialah pencitraan stigmatik yang menganggap Jokowi memiliki kecerdasan—katakanlah—segimana yang kita bayangkan ada pada Obama atau tokoh dunia lain. Bahkan juga apabila dibandingkan dengan seorang eksekutif atau eksekutif sebuah organisasi/perusahaan pun , performa Jokowi sesungguhnya di bawah standar atau kategori-kategori canggih manajemen-performatif modern. Karena itu , Anda bakal merugi jikalau mengharapkan , contohnya , Jokowi sanggup mempresentasi konsep atau ide-ide (kenegaraan atau pemerintahannya) laiknya seorang eksekutif andal.
Pelisanan atau retorikanya sungguh tak cakap , diksinya miskin , bahasa tubuh kaku , paralingual tak bisa dimainkan untuk memperkuat pernyataannya sendiri , bahasa Inggris tak fasih , bitrik simbol atau visual display tidak mahir , dan seterusnya. Kualitas mediokratik presentasinya mungkin ada pada tingkatan middle-manager. Jokowi tentu saja tidak sama sekali tak cerdas. Dalam standar atau paham kecerdasan yang , contohnya , kita dapatkan dari seorang Habibie , Gus Dur , apalagi Soekarno , bahkan ahli-ahli retorika yang silih ubah tampil di layar datar televisi. Namun , mengapa ia begitu hebat? Mengapa ia bisa menaklukkan lebih dari separuh rakyat negeri ini , dan menjadi seorang pemimpin tertinggi , menumbangkan begitu banyak tokoh cerdas , berpengalaman , bermodal besar , berjaringan luas , dan sebagainya?
Jawabannya cuma satu: Jokowi "cerdas". Bukan cerdas dalam pengertian modern yang akademik , saintifikal , atau berbasis pada rasionalisme-materialistik atau logosentrisme oksidental , segimana tokoh-tokoh kita semenjak masa pergerakan awal dulu. Jokowi "hanyalah" sarjana strata satu kehutanan , tidak lebih. Apa yang dimiliki Jokowi ialah semacam ”kecerdasan” tradisional , bisa juga primordial , yang ia dapatkan semata dari penghayatannya yang tulen pada sumber pengetahuan yang ada di dalam nature atau alam bawah sadarnya sebagai bab organik dari suku Jawa. Inilah satu bentuk kecerdasan yang tak pernah dan mungkin tak bisa dipetakan , disistematisasi , difalsifikasi atau diteorisasikan oleh pelbagai bentuk epistemologi yang ada ketika ini.
Kecerdasan ini memang tidak "disadari" ("sadar" dalam pengertian nalar yang sistematikanya dikelola oleh rasionalisme positif) , tetapi ia eksis atau mengendap begitu saja dalam diri kita. Kita umumnya , tidak hanya tidak "menyadari" , tetapi juga tidak "mengetahui" alasannya ialah kecerdasan itu semenjak kanak kita tutupi (ckelewat / over) dengan satu bentuk kultur/adab dengan kecerdasan yang sangat lain/berbeda. Kultur/adab kontinental yang kita internalisasi semenjak PAUD sampai posdoktoral.
Kapasitas dan kapabilitas dari kecerdasan tradisional ini , jikalau tidak seimbang , saya kira , lebih ampuh ketimbang kecerdasan rasional modern. Kapabilitasnya dalam mengidentifikasi problem , menemukan substansi , mengkreasi solusinya yang inovatif , dan mengimplementasikannya dalam praksis (kebijakan) hidup sehari-hari. Kecerdasan ini tidak bermain di atas meja , dalam angka-angka , eksposisi ilmiah atau simpulan-simpulan spekulatif yang reduksionistik , segimana hasil riset-riset sejumlah laboratorium sosial.
Kapasitas mental
Kecerdasan tradisional Jokowi membutuhkan pendengaran , mata , hidung , peraba , sampai bulu tengkuk yang meremang , darah yang menggejolak , atau jiwa yang empatik untuk melahirkan gereget bagi sebuah finding tentang—katakanlah—substansi dari sebuah masalah. Karena itu , berdasarkan saya , tanpa blusukan , Jokowi tak bisa berbuat banyak , bahkan bakal menjadi "bukan apa-apa" , selain seorang penguasa dan takhta belaka. Kecerdasan semacam ini mengintegrasikan beberapa bab fundamen insan yang selama ini dilupakan bahkan dinafikan oleh adagium klasik cogito ergo sum , yakni tubuh dan perasaan (jiwa , nurani , dan lain-lain). Kecerdasan ini menerangkan bahwa bukan hanya "aku berpikir" , tetapi juga "aku merasa" dan "aku bermetabolisme" ialah penanda dasar atau argumen mendasar dari esksitensi , dari adanya: "aku".
Kecerdasan holistik atau komprehensif , yang didaur dari kultur/adab tradisional/primordial inilah yang saya kira dimaksud oleh Jokowi dalam term kontrkelewat / oversial itu: mental. Pandirnya , dalam permintaan ini , bukan kapasitas akali yang perlu diubah dan dikembangbiakkan , tetapi justru kapasitas itu harus dikendalikan , dan sebaliknya kapasitas "mental" (dalam signifikansi valuatif menyerupai terjelas di atas) yang dibutuhkan , tidak hanya sebagai penyeimbang dari kemajuan rasionalisme positif , tetapi juga untuk mengoreksi kekeliruan-kekeliruan (fallacies) dari produk budaya oksidental itu.
Dengan trik berpikir ini , trik berpikir yang tidak dikerangkeng atau dikurung dalam boks logosentrisme european—yang celakanya sudah dianggap given oleh umumnya kaum terpelajar Indonesia—inilah kita bakal sanggup memafhumi bahwa "revolusi mental" yang dimaksud tak lain ialah sebuah abstraksi atau—boleh jadi—transendensi dari figur Jokowi sendiri. Dari abstraksi ini , sebaiknya kita tidak berharap berlebihan kepada Jokowi untuk mengkreasi istilah atau term-term ilmiah-populer yang bisa mengangkut semua pemahamannya wacana dunia kawruh , wacana ngelmu dadi kalaku , wacana hakikat dan eksistensi dari bab fundamental–bahkan ilahiah—manusia yang selama ini ditelantarkan anutan modern: rasa (batin/spirit) dan tubuh.
Karena itu , saya menulis ini untuk mendahului asumsi saya bakal munculnya serangan cukup mematikan (yang syukurnya belum dilakukan) dari lawan atau pesaing Jokowi terkait dengan "revolusi mental" ini. Serangan yang hanya berisi dua pertanyaan: "Apa dan siapa yang dimaksud , atau tumpuan dari revolusi mental itu?" dan "Apa Anda sendiri (Jokowi) sudah melaksanakan revolusi itu sehingga Anda punya posisi untuk mengimbau atau memerintah orang lain melaksanakan hal yang sama?" Saya perhitungkan , penyerang dengan dua pertanyaan di atas bakal mendapat kemenangan , setidaknya setrik retorik. Namun , kemenangan retorika bukankah hasil tertinggi dari kerja/upaya politik? Karena di situlah sesungguhnya bunyi juga kekuasaan diperoleh. Karena itu , sangat tak fair jikalau kita menuntut Jokowi menjelaskan satu hal yang memang dalam bahasa ilmiah tak pernah dan tidak bisa dijelaskan , bahkan bagi kecerdasan tradisional itu sendiri mungkin tidak perlu dijelaskan , tetapi dibuktikan.
Lahir Jokowi lain
Di titik inilah , urgensi dari anutan trendi ini memiliki posisi argumen fundamentalnya. Revolusi mental , sekali lagi , tidak bakal sanggup diselenggarakan sampai ke tingkat mudah atau kebijakan politis jikalau hanya mengacu pada perhitungan-perhitungan akali yang diproduksi sekumpulan jago ilmu sosial (sosiologi , psikologi , statistik , administrasi , politik , dan sebagainya). Ia juga harus menyertakan yang kita sebut—dan salah tafsirkan—dengan kearifan lokal , bukan sekadar "kearifan" melainkan juga formasi pengetahuan yang luas , kaya , dan dalam dari tradisi/adab lokal yang dibangun dan dikembangkan oleh etnik dan ratusan subetnik di seluruh persada negeri , bukan hanya ratusan , melainkan ribuan tahun selama ini.
Kita harus melahirkan Jokowi-Jokowi lain sebanyaknya. Karena Jokowi yang bukan mantan pengusaha mebel itu aneka macam , mungkin 230 juta lebih jumlahnya. Jokowi yang presiden terpilih bersama-sama tidaklah terlalu istimewa alasannya ialah banyak potensi "Jokowi" sejenis yang bisa jadi lebih genial dari presiden terpilih. Keutamaan dari presiden gres ini cuma satu: ia mengetahui kecerdasan itu dan bisa mengaktualisasikannya. Inilah kemampuan "mental" yang sangat langka.
Bayangkan jikalau , tak usah 230 juta , tetapi 230.000 saja , satu per mil saja , yang bisa berevolusi mental menjadi "Jokowi"? Saya tak bermimpi , tetapi saya "yakin" (ini bukan term ilmiah) tak ada bangsa mana pun bisa menaklukkan , bahkan menyaingi bangsa ini. Bagaimana menyaingi apalagi menaklukkan sebuah bangsa yang dalam sejarahnya bisa melahirkan lebih dari 350 etnik/sukubangsa , lebih dari 400 bahasa—setengahnya diakui PBB/UNESCO—yang sampai sekarang tak satu pun orientalis atau indonesianis bisa memahami setrik penuh dan komprehensif?
Bagaimana semua itu bisa dilaksanakan , direncanakan? Tentu saja itu diam-diam kecil alasannya ialah itu porsi tim Jokowi dan pokja-pokjanya untuk merumuskan. Dan satu imperasi dalam perumusan ini: semestinya ia dilakukan oleh mereka yang sudah lebih dulu (mampu dan mau) melaksanakan revolusi mental itu pada dirinya sendiri , menjadi insan yang hidup tidak hanya mengandalkan rasionalisme-positif-materialistiknya. Yang selalu terjerat dalam perhitungan-perhitungan mudah , pragmatis , dan cenderung oportunistis , segimana para teknokrat pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.
Bagaimana mungkin sebuah revolusi dalam jenis ini , dirancang , diatur , dan dioperasikan oleh mereka yang justru belum terevolusi mentalnya? Apakah kita hendak memainkan dusta atau dunia yang virtual-artifisial? Jokowi , tuan dan puan , saya kita tidak berdusta , dan bukan makhluk artifisial.
Radhar Panca Dahana , Budayawan
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Salah Tafsir Jokowi"