Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Badan Digital| Tradisi Verbal Tersier

Acep Iwan Saidi

DI tengah wacana pro-kontra peniadaan Kurikulum 2013 , muncul gosip ihwal tradisi berdoa bagi siswa sekolah dasar dan menengah ketika mengawali kegiatan mencar ilmu pagi hari. Mulanya dari gosip di media daring (online) yang menengarai , Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sedang menyiapkan hukum berdoa bagi pelajar (www.liputan6.com 1/12/14). Tokoh sekaliber Ustaz Yusuf Mansur pun terjebak ke dalam pusaran gosip ini. Melalui akun Twitter-nya , Ustaz Mansur membuat suasana agak panas—meski kemudian ustaz energik ini mengklarifikasi dan meminta maaf lantaran gosip itu sesat belaka.

Hal yang nyaris tak beda dengan gosip itu ialah trik media daring memberitakan penjelasan Ustaz Mansur. Tribunnews.com , contohnya , membuat judul ”Emosional Kurikulum 2013 Dihapus , Ustaz Yusuf Mansyur Ditelepon Anies Baswedan” (9/12/2014). Padahal , dalam uraian beritanya tak terdapat sekata pun menyinggung Kurikulum 2013. Faktanya , Mansur hanya mengkritik soal kebijakan berdoa.

Fatalogi informasi

Namun , hiruk pikuk informasi menyerupai itu kian hari kian lumrah di negeri ini. Barangsiapa mengamati fenomena di dunia maya , tak bakal terkejut menyikapi isu demikian. Hanya , celakanya , publik selalu tak memiliki kesiapan menerimanya , dalam arti memahami media setrik kritis—dalam hal ini khususnya media siber. Itu sebabnya kampanye hitam pada masa pemilu presiden , pemilu legislatif , dan pemilu kepala tempat masih disukai politisi busuk. Soalnya , fungsi kampanye hitam memang masih efektif.

Ingatlah pilpres kemarin. Setrik logis pilpres yang hanya diikuti dua kontestan lebih sederhana lantaran gampang memilah dan mencari perbedaan keduanya. Namun , justru lantaran terlalu banyak informasi daring ditambah media konvensional partisan , segalanya jadi sangat rumit. Dalam kebisingan demikian , indera pendengaran kita sulit mendengar bunyi jelas. Sulit membedakan mana informasi , mana pseudeoinformasi. Terjadilah yang disebut fatalogi informasi. Alih-alih menuntun kita ke tujuan yang benar , informasi malah menjerumuskan.

Beberapa pihak beropini fenomena dunia maya demikian bukan hanya di negeri ini , melainkan di seluruh dunia. Benar. Namun , di Indonesia sangat berbeda. Kita tak memiliki tradisi literasi yang kuat. Padahal , tradisi literasi merupakan modal utama memahami media siber atau lebih luas dunia maya.

Media siber merupakan ruang informasi eklektik , terdiri atas aneka macam tempelan , hibirida , dan memfasilitasi bermacam-macam imitasi. Dari sisi gimana realitas dihadirkan , media siber merupakan adonan presentasi , representasi , sekaligus simulasi. Penghadiran realitas itu dilakukan ”individu maya” atau ”tubuh digital” yang bermigrasi dari individu riil (tubuh biologis).

Tubuh digital bisa mempresentasikan dirinya dalam bermacam-macam penampilan sejauh kapasitas byte yang dimilikinya. Tubuh ini pula yang mengirim pesan-pesan representatif ihwal realitas yang ditafsirkannya. Jurnalisme warga yang kelahirannya terkait media siber bekerjsama tak lebih dari produksi informasi oleh individu digital sedemikian. Di sini tak ada realitas dalam arti material , yang hadir ialah realitas gagasan yang divisualkan melalui simulasi.

Kelisanan tersier

Karena situasi itu , informasi yang diproduksi media siber bersifat cair dan liar sehingga , lantaran itu , terus-menerus menuntut klarifikasi. Namun , kemampuan mengklarifikasi sedemikian hanya mungkin dilahirkan dari tradisi literasi. Tradisi literasi menumbuhkan perilaku pada individu selalu mengkaji dan melacak informasi sampai pada sumber primer dan tekstual. Dalam tradisi ini , individu mendahulukan budi sebelum berbitrik , berpikir kritis sebelum percaya.

Dunia maya melahirkan tradisi lisan digital. Pasalnya , yang terjadi di dunia maya sesungguhnya perbincangan lisan yang dimediasi teknologi digital. Ia gampang diucapkan sekaligus dihapus. Pada kasus dialog daring melalui akun Facebook atau Twitter , hal demikian eksplisit. Tubuh digital berhadapan , berbincang , bertukar gagasan , sampai berkelahi. Efek perbincangan badan digital di situs netokrasi—meminjam Alexander Bard (2002)—jauh berbeda dengan di situs socious. Masyarakat jaringan yang di sini disebut sosiodigital amat dinamis , progresif , bahkan liar. Nyaris tiada yang membatasi gerak badan digital lantaran dunia maya tak kenal batas geografis.

Tradisi itulah yang ingin saya sebut sebagai kelisanan tersier. Istilah ini saya pakai untuk ”melanjutkan” uraian Walter J Ong ihwal tradisi lisan primer dan sekunder dalam bukunya , Orality and Literacy (2004). Ong menyebut kelisanan primer sebagai tradisi masyarakat yang sama sekali belum kenal aksara. Dalam masyarakat ini , realitas hadir hanya dalam memori yang direpresentasikan melalui media biologis ekspresi dan telinga. Tradisi lisan sekunder dipakai untuk menyebut masyarakat lisan pada zaman keberaksaraan. Kehadiran media elektronik radio , TV , juga telepon pada abad ini mengonfigurasi tradisi kelisanan: menonton , mendengar , berkerumun , dan seterusnya.

Berbeda dengan tradisi lisan sekunder yang cenderung statis lantaran publik hanya berposisi sebagai pendengar dan penonton , kelisanan tersier memosisikan publik sebagai pelaku aktif. Segimana telah disinggung , mereka berbincang , berinteraksi , dan bertransaksi sebagai anggota masyarakat sosiodigital. Tradisi lisan yang dimediasi teknologi digital sedemikian sangat berpotensi bagi lahirnya kebarbaran baru. Jika pada masyarakat lisan primer keliaran dibatasi ruang dan waktu , pada kelisanan tersier situasinya terbalik. Teknologi informasi nyaris menirbataskan ruang dan melipatgandakan kecepatan waktu.

Akibatnya , kita jadi insan yang ”panik” , selalu ingin lekas menjangkau segala hal. Kebiasaan copy-paste , menjawab SMS sambil bersepeda motor , ingin cepat kaya dengan korupsi , dan ingin cepat jadi penguasa dengan politik uang ialah sedikit pola yang bisa disebut. Setrik kultural terbentuklah masyarakat reaktif , yang gampang dimobilisasi bermacam-macam isu. Mereka bertindak tanpa berpikir lebih dulu. Walhasil , abad sosiodigital ialah zaman yang menomorduakan nalar.

Tentu situasi demikian harus mendapat perhatian kita bersama. Untuk hal ini , dalam jangka panjang posisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sangat menentukan. Tak ada rambu yang bisa mengatur dengan ketat masyarakat sosiodigital , kecuali setiap individu dalam masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain , hanya diri yang berkarakter teguhlah yang bisa mengantisipasinya. Diri demikian hanya bisa dilahirkan sistem pendidikan berkarakter pula.

Namun , penting dipahami bahwa karakter bukanlah sifat dan perilaku yang bisa ditempelkan menyerupai ditunjukkan setrik teknis di dalam Kompetensi Inti/Dasar (KI/KD) Kurikulum 2013. Karakter ialah sebuah fleksibilitas diri dalam menghadapi tantangan ruang dan waktu setrik kreatif dan inovatif. Hal ini hanya bisa dilahirkan jikalau pendidikan didudukkan di dalam kebudayaan. Mengingat kebudayaan kita sangat bermacam-macam , pendidikan meniscayakan lahirnya karakter jikalau berada dalam keberagaman budaya sedemikian. Artinya , sistem pendidikan yang salah satunya diturunkan melalui kurikulum tak bisa diseragamkan segimana dikehendaki pemerintah melalui penerapan Kurikulum 2013. Penyeragaman justru bakal melahirkan insan mesin , tubuh-tubuh digital yang sensitif , glamor , tetapi sekaligus reaktif dan mengabaikan budi kemanusiaan. Itulah kebarbaran gres dalam tradisi kelisanan tersier.

Acep Iwan Saidi; Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Badan Digital| Tradisi Verbal Tersier"

Total Pageviews