Ignas Kleden
Pada Rabu (18/2) siang , sempurna sehari sebelum tahun gres Imlek 2566 , Presiden Joko Widodo mengumumkan keputusannya wacana kontrkelewat / oversi mengenai KPK dan problem Kepala Polisi Republik Indonesia yang sudah menggantung selama sebulan lebih.
Keputusan Presiden itu sudah diketahui oleh publik ketika ini. Peristiwa ini sanggup dijadikan kesempatan untuk meninjau kedudukan dan tabiat suatu keputusan politik oleh administrator tertinggi serta dampaknya bagi pemerintah dan masyarakat.
Dalam retrospeksi masih sanggup diingat bahwa salah satu alasan menunda keputusan yang baru-baru ini diumumkan ialah bertumpuknya masalah yang harus diurai satu per satu , yaitu masalah aturan , masalah politik , dan perubahan APBN. Alasan Presiden itu hendaknya diterima sebagai alasan politik , yang kebenarannya sebaiknya diterima sebagai kebenaran politik , dalam kadar yang ditentukan oleh risiko politik dan kemungkinan-kemungkinan dalam dinamika politik serta efeknya terhadap para pendukung kebijakan presiden dan para lawan politik.
Bahan pembelajaran
Hal yang sanggup menjadi materi pembelajaran bagi semua anggota komunitas politik ialah pertanyaan mengenai gimana seorang pemimpin menyusun prioritas dalam pengambilan keputusan , apakah ada kriteria dalam memilih prioritas , dan adakah sifat khusus tiap keputusan politik yang dibuat. Ambillah tiga pola yang telah disebut presiden , yaitu masalah politik , masalah aturan , dan perubahan anggaran belanja negara.
Kita tahu masalah anggaran belanja negara meliputi kepentingan sangat luas lantaran eksklusif berafiliasi dengan berfungsinya pemerintahan dan akhirnya pada kehidupan seluruh rakyat. Di samping itu , keputusan mengenai anggaran tak sanggup dibentuk setrik sepihak oleh Presiden , tetapi perlu persetujuan DPR. Dibutuhkan waktu untuk pembitrikan dan konsultasi antara administrator dan legislatif. Konsultasi ini dilakukan semoga dana yang tersedia sanggup dialokasikan setrik sempurna sasaran. Sifat sempurna target ini amat perlu lantaran anggaran yang terbatas harus membiayai kebutuhan yang seakan tak terbatas sehingga penggunaan anggaran harus bersifat cost-effective.
Kalau masalah anggaran menuntut keputusan yang sempurna target , maka masalah politik sering kali meminta keputusan yang sempurna waktu. Dalam bisnis berlaku semboyan ”waktu yakni uang” , tetapi kenyataan politik memperlihatkan ”waktu yakni perubahan”. Suatu masalah politik yang tak dibereskan pada waktunya sanggup mengundang masalah lain , yang mungkin lebih besar dan lebih rumit daripada masalah semula. Di samping itu , lantaran waktu yakni perubahan , sebuah masalah politik yang tertunda diputuskan sanggup berubah sifat menjadi masalah lain yang lebih kompleks.
Sebagai pola soal masalah yang dihadapi Komisaris Jenderal Budi Gunawan (BG) yakni status aturan seorang individu yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK , sesudah yang bersangkutan diusulkan sebagai Kepala Polisi Republik Indonesia oleh Presiden Jokowi ke DPR. Tertunda-tundanya penetapan Kepala Polisi Republik Indonesia telah mengubah sifat masalah yang semula hanya menyangkut seorang individu menjadi ketegangan dan konflik di antara dua forum negara. Masalah yang semula bersifat individual berubah sifat menjadi konflik antar-institusi , yang membawa serta langkah-langkah dari pihak polisi yang dianggap menjadikan kriminalisasi terhadap KPK.
Pada tahapan kini , masalahnya jadi jauh lebih besar daripada masalah semula. Seandainya keputusan mengenai Kepala Polisi Republik Indonesia dibuat lebih awal oleh Presiden , maka masalah-masalah susulan yang mempersulit kerja KPK sanggup dihindari atau diperkecil dampaknya. Kita sanggup bersyukur bahwa Presiden Jokowi akhirnya membuat keputusan yang amat dinanti-nantikan itu pada 18 Februari 2015 , tetapi kini diharapkan lebih banyak usaha dan kesabaran untuk membuat rekonsiliasi politik antarlembaga , dengan tidak mengorbankan lingkup wewenang dan tanggung jawab tiap-tiap pihak. Terlihat di sini bahwa masalah politik , dalam banyak masalah , membutuhkan keputusan yang bersifat time-effective.
Masalah aturan , menyerupai yang selalu kita dengar , berafiliasi dengan dasar atau alasan yang sanggup membenarkan suatu tindakan. Pertanyaan para hebat hukum: apa dasar hukumnya? Setiap tindakan dalam politik tak cukup dibenarkan bila hanya punya tujuan yang baik , tetapi harus memiliki suatu dasar dalam UU yang membenarkan tindakan tersebut. Dalam konteks aturan , tindakan yang benar merupakan pelaksanaan UU dan tindakan yang salah melanggar UU , sementara tindakan yang tak terperinci dasar hukumnya sanggup dipersoalkan. Kalau masalah politik menuntut keputusan yang sempurna waktu , maka masalah aturan menuntut keputusan yang sempurna dasarnya.
Dengan demikian , perdebatan para hebat aturan bakal berputar sekitar dua soal utama , yaitu ada tidaknya dalil dalam UU yang dijadikan dasar dalam membenarkan suatu tindakan , dan apakah tafsir mengenai kutipan dari pasal UU itu sanggup dipertanggungjawabkan. Sebagai pola yang masih nyata , perbedaan tafsir itu berafiliasi dengan soal gimana mengartikan keadaan kekosongan aturan yang diakibatkan oleh belum adanya UU yang mengatur suatu tindakan. Hakim Sarpin yang memimpin praperadilan masalah BG beropini bahwa ada kekosongan aturan dalam status tersangka BG lantaran KUHAP tidak mengatur status tersangka. Dengan anggapan bahwa seorang hakim tidak boleh menolak kasus meskipun belum ada aturan yang mengaturnya , hakim Sarpin beropini dirinya sanggup menetapkan soal status tersangka ini dalam sidang praperadilan dengan menggali keadilan dalam masyarakat.
Di pihak lain , hebat aturan tata negara Refly Harun menunjuk dengan terperinci bahwa tidak ada kekosongan aturan menyerupai yang didalilkan hakim Sarpin. Sebab , KUHAP setrik eksplisit menyebutkan masalah apa saja yang sanggup dibawa ke praperadilan , yaitu 1) sah tidaknya penangkapan atau penahanan; 2) sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan; dan 3) ubah rugi dan rehabilitasi yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Apa yang dilakukan hakim Sarpin bukanlah mengisi kekosongan aturan , melainkan memperluas wewenangnya sebagai hakim praperadilan melampaui wewenang yang diatur dalam KUHAP (Kompas , 17 Februari 2015).
Perdebatan menyerupai ini bakal selalu berulang di antara para hebat aturan lantaran hukum—segimana didefinisikan oleh para hebat filsafat aturan dan politik—merupakan suatu instansi yang melaksanakan mediasi sosial di antara fakta dan norma , di antara faktisitas dan validitas. Akan selalu ada silang pendapat wacana apa itu fakta dan ada tidaknya fakta tersebut serta gimana suatu norma dihubungkan dengan fakta termaksud.
Dalam teori wacana wacana aturan dan negara aturan , norma yang didalilkan itu , untuk mencapai validitasnya , harus memenuhi syarat yang dituntut dari empat dimensi. Pertama , korelasi dalil dengan bahasa (suatu dalil harus diungkapkan dalam rumusan yang memenuhi syarat kebahasaan yang benar sehingga memungkinkan pengertian yang sanggup dipegang bersama oleh pihak yang berdebat). Kedua , korelasi dalil itu dengan kenyataan obyektif (dan bukan dengan kenyataan subyektif atau kenyataan fiktif). Ketiga , korelasi dalil dengan orang yang mengucapkannya (dalil harus menyatakan apa yang dimaksudkan oleh yang mengucapkannya dan bukannya menyembunyikan apa yang dipikirkannya). Keempat , korelasi dalil dengan norma-norma kemasyarakatan (dalil tak boleh bertentangan dengan norma yang diterima masyarakat) (Lihat: Juergen Habermas , Faktizitaet und Geltung , 1992 , atau edisi bahasa Inggris Between Facts and Norms , 1996). Dalam praperadilan wacana masalah BG , hakim Sarpin ternyata telah salah mengartikan bahasa dalil dalam KUHAP wacana praperadilan.
KPK perlu sumbangan politik
Tak perlu diuraikan di sini bahwa masalah politik dan masalah aturan perlu dibedakan , tetapi dalam praktik selalu ada zone of intersection , di mana politik dan aturan berpotongan. Ini tak mengherankan lantaran aturan berfungsi antara lain mengatur kehidupan politik , dan aturan dilaksanakan sesuai politik aturan yang ditetapkan. Yang harus diwaspadai yakni aturan tidak jadi alat politik simpel , yaitu jadi instrumen kekuasaan politik.
Dalam semua korelasi itu , sepakat kita ingat kembali bahwa KPK telah didirikan pada tahun 2002 dengan UU No 20/2002 sebagai dasar hukumnya , dan mulai beroperasi semenjak 2003. Berdirinya KPK sebagai kebijakan politik Presiden Megawati Soekarnoputri bertujuan memperkuat usaha menentang korupsi , khususnya korupsi-korupsi berukuran besar. Kebijakan politik yang harus dilaksanakan KPK ini terperinci menghadapi risiko yang tidak kecil dan menuntut keberanian besar. Sebab , pihak-pihak yang diduga melakukan korupsi besar memiliki dana besar untuk melindungi diri mereka dan sanggup membiayai proteksi politik atas diri mereka.
Cukup terperinci kiranya bahwa untuk melaksanakan kiprah tersebut setrik efektif , KPK memerlukan sumbangan politik dari masyarakat sipil , dari partai politik , dan terutama dari pemerintah yang telah menugaskan KPK menjalankan suatu misi yang barangkali sulit dilaksanakan oleh forum penegak aturan lain. Ketegangan dan konflik antara KPK dan Polisi Republik Indonesia ketika ini yakni insiden yang mempersulit langkah pemberantasan korupsi lantaran konflik ini eksklusif tidak eksklusif menyedot banyak energi dua forum penegak aturan dan menghalangi mereka menjalankan tugasnya masing-masing setrik optimal.
Buang egosentris kelembagaan
Keputusan politik yang dibentuk Presiden Jokowi pada 18 Februari 2015 patut dihargai sebagai tindakan yang membawa kita lepas dari keadaan tak menentu. Juga memberi kelegaan lantaran suhu politik yang tinggi kembali diredam , sesudah KPK dan Polisi Republik Indonesia menerima pimpinan baru. Keputusan Presiden ini , dengan pertimbangan apa pun , terperinci keputusan yang tertunda selama lebih dari sebulan , dan menawarkan kesempatan bagi langkah-langkah yang memperlemah KPK melalui kriminalisasi.
Dalam kaitan ini patut dipertimbangkan proporsi problem dan besar kecilnya kepentingan yang dibela. Perjuangan menentang dan mengurangi korupsi besar yang merugikan negara dan rakyat apakah harus dilarang lantaran para penyidik KPK tidak memenuhi ketentuan manajemen aturan , menyerupai tidak punya izin memiliki senjata api (apa pun yang menjadi sebabnya)? Para petugas KPK layak digugat setrik aturan , bila contohnya pimpinan dan stafnya sanggup dibuktikan memperkaya diri dalam tugasnya dengan trik-trik ilegal. Dalam hal ini , dengan memperkaya diri setrik ilegal , forum KPK ini telah mengkhianati misi yang dipercayakan kepadanya melalui UU. Dengan lain perkataan , sekalipun ada bukti dan dasar untuk melaksanakan suatu somasi , perlu dipertimbangkan apakah somasi itu benar-benar sempurna target dalam konteksnya dan dalam keadaan kini apakah sempurna waktunya.
Dengan adanya pimpinan gres kedua forum , timbul lagi keinginan bahwa ketegangan dan konflik dua forum negara ini sanggup diredam melalui komunikasi dan konsultasi antarpimpinan untuk memulihkan saling pengertian dan memperkuat kerja sama dalam penegakan aturan oleh lembaga-lembaga yang diserahi kiprah tersebut. Tiap forum terperinci punya kiprah dan wewenang sendiri. Adalah suatu keinginan yang sah bahwa kiprah dan wewenang itu tidak mengakibatkan egosentrisme kelembagaan yang cenderung sensitif bila merasa wewenangnya dilanggar , tetapi tidak sensitif mempertimbangkan apakah kepentingan nasional diselamatkan atau dirugikan oleh apa yang dilakukan tiap-tiap pihak dalam konflik.
Ignas Kleden; Sosiolog , Ketua Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Politik Dan Keputusan Politik"