Azyumardi Azra
BENCANA demi peristiwa masih melanda Indonesia. Julukan Indonesia sebagai ring of fire (cincin api) mungkin tidak memadai lagi. Karena itu , Phil Sylvester , editor Travel Insight , menyatakan , Indonesia telah selalu menjadi , "hotbed of earthquake activity , but in the past few years there have been more deadly quakes than usual.”
Mempertimbangkan tanda-tanda itu , jangan-jangan julukan Tanah Air kita harus diganti jadi ring of disasters , lingkar bencana. Ini terlihat , contohnya , pada peristiwa longsor di Banjarnegara , Jawa Tengah , yang menewaskan sekitar 85 orang dan mungkin ratusan orang lainnya hilang tertimbun longsoran.
Meski kita selalu berdoa semoga peristiwa tidak terus melanda Indonesia , hampir sanggup dipastikan musibah tetap bakal datang. Banyak lokasi alam Indonesia setrik alamiah sangat rawan bencana. Namun , kian merosotnya kualitas lingkungan hidup lantaran perusakan hutan atau penggarapan lahan rawan longsor menjadikan peristiwa longsor dan banjir bandang semakin sering.
Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) , hingga menjelang peristiwa di Banjarnegara , pada 2014 tercatat 248 korban peristiwa longsor. Pada 2011 , berdasarkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia , terjadi 452 longsor dan banjir bandang , menewaskan 371 jiwa; dan 2010 dengan korban 635 orang. Menurut Prevention Web , pada 1980-2010 rata-rata 6.209 setiap tahun orang tewas lantaran banyak sekali bentuk bencana.
Jumlah kerugian harta benda akhir peristiwa tidak sedikit. Menurut Bappenas , dalam 10 tahun terakhir , jumlah kerugian akhir peristiwa Rp 162 triliun , sedangkan berdasarkan data Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) Rp 400 triliun. Berhadapan dengan peristiwa silih berganti dengan jumlah kerugian begitu besar , pemerintah , khususnya melalui BNPB dan Kementerian Sosial , sering terlihat gagap. Sering pula dukungan tak sanggup cepat disalurkan lantaran kendala birokrasi dan administrasi.
Namun , Indonesia beruntung lantaran solidaritas masyarakat masih berpengaruh untuk meringankan beban warga. Banyak warga impulsif turun tangan membantu. Selain itu , organisasi dan kelompok filantropi yang bergerak dalam penyantunan korban peristiwa (relief) juga terlihat cepat bergerak menawarkan banyak sekali bentuk bantuan berupa dana infak , sedekah , dan sumbangan lain dari masyarakat. Kelas menengah yang terus bertumbuh menjadi tulang punggung (backbone) filantropi Indonesia memungkinkan mereka bergerak lebih aktif dan lebih cepat.
Bagaimana kekerabatan peristiwa dengan politik? Dalam pengalaman Indonesia , peristiwa sanggup menjadi momentum untuk perdamaian dan rekonsiliasi politik di Aceh sehabis konflik berdarah-darah selama beberapa tahun (1976-2005). Kasus ini terlihat dalam peristiwa tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 , yang tahun ini genap 10 tahun. Bencana dahsyat yang menewaskan sekitar 160.000 jiwa itu memaksa Pemerintah Indonesia berunding dengan pimpinan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang menghasilkan Persetujuan Helsinki (15 Agustus 2005). Dengan begitu , peristiwa tsunami Aceh menjadi blessing in disguise bagi NKRI.
Bencana demi peristiwa di Tanah Air juga mengundang parpol atau elite politik ”turun tangan”. Gejala ini tidak unik di Indonesia , tetapi juga bahkan di AS. David G Twigg dalam The Politics of Disaster: Tracking the Impact of Hurricane Andrew (2012) menyimpulkan , musibah semenjak dari gempa hingga angin puting-beliung sanggup meninggalkan bekas tidak terhapuskan dalam karier politik seseorang. Kecepatan figur politik dalam turut menangani korban peristiwa sanggup menawarkan manfaat baginya alasannya yaitu dengan begitu ia telah melaksanakan ”kampanye tanpa kampanye”.
Keterlibatan elite politik dan parpol di Tanah Air mewujud dalam pemberian dukungan berbarengan dengan pemasangan bendera parpol masing-masing di wilayah terlanda dan terdampak bencana. Keadaan ini kadang kala mengesankan adanya ”perang bendera” di antara parpol berbeda. Namun , keadaan agak berbeda dengan peristiwa longsor Banjarnegara. Tidak terlihat banyak bendera parpol meski sesungguhnya ada di antara mereka yang juga turun ke sana.
Apakah tanda-tanda ini mengindikasikan meningkatnya ”sensitivitas” parpol untuk tidak ”memanfaatkan” peristiwa guna meningkatkan popularitas mereka , menyerupai sering dikritik banyak kalangan. Atau , boleh jadi juga lantaran memang tidak banyak parpol yang tiba ke tempat bencana. Boleh jadi hal terakhir ini yang lebih benar. Hal ini terkait disorientasi yang dialami banyak parpol sehabis Pemilu 2014. Parpol-parpol terbelah dalam dua kubu yang terlibat dalam kontestasi dan kegaduhan politik yang tak kunjung usai. Boleh jadi , jangankan memikirkan dan turut turun tangan dalam menyantuni korban peristiwa , dewan perwakilan rakyat saja , tempat mereka bertarung , terlihat mengalami kemacetan.
Lalu , ada lagi konflik internal menyerupai yang terus membara dalam PPP dan Partai Golkar. Pembelahan dan friksi yang entah hingga kapan memperlihatkan parpol lebih sibuk dengan dirinya daripada menyantuni korban peristiwa yang merupakan konstituen mereka. Keadaan ini patut disayangkan. Alangkah eloknya kalau sumber daya insan dan keuangan yang dimiliki elite politik dan parpol dipakai untuk kemaslahatan warga , khususnya korban bencana. Sudah saatnya elite politik dan parpol meninggalkan kegaduhan internal dan eksternal sehingga sanggup lebih bermanfaat bagi negara-bangsa.
Azyumardi Azra; Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah , Jakarta
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Tragedi Dan Politik"