Azyumardi Azra
SEJARAH dan pedoman normatif terkait hari raya Idul Adha umumnya telah diketahui umat Islam. Begitu pula dengan kaitan antara Idul Adha dengan Idul Kurban dan Idul Haji. Ketiga hari raya ini berjalin berkelindan dalam semangat , makna , dan hikmahnya , baik untuk kehidupan pribadi maupun bermasyarakat dan berbangsa-bernegara.
Setrik sosial-keagamaan , hari raya ini ditandai penyembelihan binatang kurban , menyerupai kambing dan sapi , untuk dibagikan kepada fakir , miskin , dan pihak lain yang berhak menerima.
Pada dikala yang sama , hari raya ini merupakan puncak prosesi ibadah haji di Makkah al-Mukarramah. Dengan menjalankan semua ritual yang ditentukan fikih haji , mereka yang menunaikan ibadah haji dibutuhkan sanggup mencapai haji mabrur—haji yang mendatangkan lebih banyak lagi birr (kebaikan) dalam kehidupan.
Tradisi berkurban dengan binatang sembelihan bukan unik milik Islam dan kaum Muslimin-Muslimat. Dalam konteks Islam , pedoman untuk melaksanakan kurban bersumber dari Nabi Ibrahim dengan putranya , Nabi Ismail. Ibrahim yang juga disebut sebagai Abraham merupakan nabi yang mewariskan Abrahamic religions , yaitu Yudaisme , Kristianitas , dan Islam.
Karena itu , dalam kajian agama (religious studies) , ketiga agama ini sering disebut siblings (kakak-adik) , yang di samping memiliki banyak kesamaan (commonalities) , juga mengandung perbedaan tertentu. Karena itu pula para penganut ketiga agama yang sering disebut sebagai revealed religions (agama wahyu) seyogianya sanggup hidup berdampingan setrik tenang dengan lebih banyak menekankan kesamaan-kesamaan daripada perbedaan.
Kosakata kurban yang berasal dari bahasa Arab qurban memiliki banyak kata terkait yang sudah menjadi kosakata Indonesia menyerupai taqarrub (takarub/saling mendekat) dan aqrab (akrab). Semua kosakata ini tidak hanya memiliki arti keagamaan , tetapi juga makna sosial dan politik.
Dalam konteks itu , baik ibadah kurban maupun ibadah haji yaitu ritual untuk mencapai taqarrub ila Allah—mendekatkan diri kepada Allah SWT. Untuk taqarrub ila Allah , kaum Muslimin dan Muslimat memperlihatkan pengorbanan dengan mengeluarkan sebagian kekayaan yang mereka miliki.
Untuk naik haji , mereka mengorbankan dana puluhan juta rupiah , yang bukan tidak sering diperoleh sehabis menabung puluhan tahun. Begitu juga ketika menjalankan ibadah kurban yang wajib bagi setiap Muslimin-Muslimat yang bisa , mereka juga mengorbankan dana jutaan rupiah.
Dengan kemampuan melaksanakan pengorbanan harta benda itu , kaum Muslimin dan Muslimat Indonesia patut bersyukur menjadi anak negeri ini. Kenapa? Berkat Indonesia yang tenang dan stabil , ekonomi bisa tumbuh cukup baik.
Kaum Muslimin dan Muslimat negeri ini yaitu akseptor manfaat terbesar (largest beneficiaries) dari peningkatan ekonomi dan sosial bangsa Indonesia. Karena itu , mengimpor kekacauan menyerupai dari tempat NIIS , contohnya , ke Indonesia tidak bisa lain , kecuali yaitu satu bentuk tindakan kufur nikmat.
Hasil Indonesia yang tenang dan stabil terlihat jelas. Karena kemampuan ekonomi yang terus meningkat , daftar tunggu untuk berangkat haji berkisar 10 hingga 17 tahun—tergantung dari daerahnya. Karena itu , boleh jadi menjadi ”wajib” hukumnya bagi mereka yang sudah naik haji untuk tidak lagi mendaftar pergi haji; memperlihatkan kesempatan kepada mereka yang belum pernah naik haji.
Dalam situasi menyerupai itu , bisa dipahami kian banyak Muslimin Indonesia yang melaksanakan ”haji kecil” yang terkenal sebagai umrah. Sepanjang tahun di luar animo haji , mereka yang punya istitha’ah (kemampuan) itu sanggup melaksanakan umrah.
Pada dikala yang sama , jumlah binatang kurban sembelihan juga meningkat tajam. Hal ini terkait banyak dengan peningkatan forum filantropi Islam , yang bisa mengumpulkan dana dan binatang kurban dalam jumlah yang terus bertambah setiap tahun. Hasilnya , kian meningkat pula pemerataan distribusi binatang kurban ke lingkungan masyarakat fakir miskin yang hampir tidak pernah makan daging.
Dengan demikian , ibadah haji dan ibadah kurban untuk taqarrub ila Allah sekaligus menjadi taqarrub ila al-nas—saling mendekat dan erat di antara sesama manusia. Ibadah kurban , sesuai dengan kandungan makna kurban , juga bertujuan membuat seseorang lebih qarib dengan Tuhan dan sekaligus dengan insan lain.
Hewan sembelihan kurban mendekatkan hubungan antarmanusia; antara mereka yang memiliki kelebihan rezeki dan harta dengan mereka yang fakir , miskin , dan nestapa. Inilah takarub sosio-religius yang terlihat terus meningkat dalam kehidupan bangsa.
Takarub sosial-politik
Semangat berkurban serta taqarrub ila al-nas dan erat di antara sesama Muslim dan anak bangsa lain semestinya juga terwujud dalam kehidupan sosial politik. Jika taqarrub ila al-nas tidak terwujud dalam kehidupan berbangsa-bernegara , bisa dipastikan terwujudnya situasi yang tidak aman bagi masa depan Indonesia yang demokratis , berharkat , bermartabat , dan dihormati bangsa-bangsa lain.
Mengamati perkembangan sosial-politik bangsa belakangan ini , orang dengan gampang bisa melihat merosotnya semangat dan aktualisasi taqarrub ila al-nas dalam kehidupan sosial politik. Justru yang terjadi yaitu sebaliknya; yaitu kian meningkatnya diskrepansi dalam kesediaan memperlihatkan pengorbanan untuk kemajuan kehidupan bangsa.
Merosotnya semangat berkurban untuk kepentingan warga bangsa terlihat contohnya dalam kasus penetapan UU Pilkada pada 26 September lalu. Penetapan UU Pilkada ini tidak lain yaitu pengambilalihan hak dan kedaulatan rakyat (al-hakimiyyah al-ra’iyah) untuk menentukan pemimpin daerah mereka setrik langsung.
Kedaulatan rakyat justru dikorbankan untuk kepentingan politik oligarki partai. Hasilnya , yang kelihatan kian menguat yaitu ”kedaulatan partai” (al-hakimiyyah al-hizbiyyah) yang membuat partai teralienasi dari rakyat.
Dengan demikian , merupakan kebutuhan urgen untuk segera membangun kembali takarub sosial-politik. Untuk itu perlu kesediaan mengurangi egoisme dan sektarianisme politik yang bernyala-nyala; dan sebaliknya membangun kesediaan berkorban untuk kepentingan rakyat dan negara-bangsa lebih besar.
Azyumardi Azra; Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta; Visiting Professor Chinese University of Hong Kong
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Takarub Sosio-Religius Dan Politik"