Jakob Sumardjo
Korupsi menggerogoti negara ibarat kanker menggerogoti badan insan , sedangkan teroris dan pemberontak terang-terangan terlihat ibarat virus memasuki badan manusia. Negara yang penuh koruptor akhirnya bakal ambruk juga sebab kehabisan daya hidup. Koruptor ibarat kambing hitam dalam keluarga , yang menghabiskan seluruh harta benda keluarga hingga mengakibatkan bawah umur , orangtua , dan keluarga dekatnya telantar. Keluarga menunggu kehancurannya.
Korupsi yaitu penggerogotan material negara , sama berbahayanya dengan penggerogotan ideologi negara. Mungkin teroris dan pemberontak masih memiliki kebangsaan negara meski berbeda ideologinya. Kaum koruptor benar-benar tidak memiliki rasa kebangsaan. Mereka manusia-manusia oportunistis yang tak segan-segan membawa lari hasil korupsinya ke luar negeri dan jikalau perlu menetap di sana semoga tidak terjangkau aturan nasional Indonesia.
Hidup membutuhkan sumber hidup material , baik berupa tanah pertanian , hasil hutan , bidang jasa , maupun kelautan. Begitu pula kehidupan negara membutuhkan biaya hidup berupa kekayaan negara. Kekayaan itu kepemilikan , yang di sini berarti milik forum kenegaraan. Lembaga ini digerakkan orangorang yang terpilih bangsanya untuk menduduki jabatan-jabatan forum itu. Jika negara ini tak memiliki apa pun kecuali utang negara , rakyat bangsa itulah yang akhirnya harus menanggung pembayarannya.
Itulah yang terjadi dengan pesta pora korupsi kini ini. Kekayaan yang dibelanjakan negara untuk menghidupi bangsa ternyata digerogoti para pejabat negara sendiri. Seperti penyakit kanker yang gres terasa akhir fatalnya puluhan tahun kemudian , begitu juga dengan penyakit korupsi ini. Boleh jadi para koruptornya sudah usang mati dan tak bisa menikmati hasil korupsinya , tetapi akhir perbuatannya bakal ditanggung cucu dan buyutnya sendiri. Penyair Abdul Hadi WM pernah menulis sajak mengenai perkara ini. Intinya para koruptor itu sibuk memetik dan memakan habis buah-buah yang diperuntukkan bagi anak cucunya nanti.
Pembunuh skala nasional
Gejala korupsi yang sebetulnya berakibat fatal ini , yang tidak segera terlihat balasannya atau balasannya tidak pernah dihubungkan dengan kejahatan korupsi , membuat para pelaku korupsi dijatuhi sanksi ringan. Mereka hanya dikategorikan sebagai maling besar atau tikus negara. Sebenarnya mereka pembunuh dalam skala nasional.
Jika ada sekolah dasar ambruk , jembatan ambruk , jalan hancur yang memakan korban; atau pembangunan puskesmas ataupun rumah sakit yang terbatas dan lamban; proteksi sosial bagi kesehatan , kesejahteraan , pendidikan bagi mereka yang tak bisa sehingga banyak warga miskin tidak tertolong , padahal negara telah menyediakan anggarannya; siapakah yang harus bertanggung jawab atas peristiwa alam ini?
Tak ada korelasi antara pelajar yang tewas tertabrak truk akhir menghindari lubang di jalan dan pejabat yang harus bertanggung jawab atas terpeliharanya jalan dan ketertiban kemudian lintas. Tak ada korelasi antara jutaan balita yang meninggal akhir kurangnya jaminan keuangan dan pejabat yang seharusnya bertanggung jawab atas kesehatan dan kesejahteraan rakyatnya.
Belanja negara untuk rakyatnya barangkali telah diperhitungkan setrik cermat , tetapi kenyataannya tak mengubah apa pun pada rakyat selama puluhan tahun berdirinya negara nasional ini. Korupsi para pejabat negara justru semakin merajalela dan berani sehingga menjadi ciri-ciri salah satu gaya hidup mereka. Mereka tersenyum gembira saat digiring ke Kantor KPK. Semakin besar nilai korupsinya semakin tegak busung dadanya. Mereka ini orang sehat atau orang
sakit?
Medan korupsi semakin luas. Ada korupsi belanja negara dan ada korupsi masukan negara. Para pejabat negara yang korup berada di antara forum pemberi dan penerima. Memberinya digerogoti , menerimanya juga digerogoti. Akibatnya , rakyat hanya mendapatkan sisa-sisa ”kebaikan hati” kaum koruptor. Tentu saja para koruptor ini tak sanggup menggasak habis belanja negara atau pemasukan negara sebab hal itu tidak mungkin. Masalahnya kini seberapa banyak yang mereka korup? Seperempatnya? Setengahnya? Tiga perempatnya? Sebab , intinya insan itu sanggup serakah , tentu saja jatah korupnya juga semakin meningkat hingga mereka tertangkap tangan dan tertangkap basah.
Gaji pegawai negara naik Rp 1 juta sudah merupakan loncatan luar biasa. Biasanya kenaikan tingkat atau golongan hanya bergerak antara Rp 200.000 dan Rp 700.000. Pegawai negeri itu jikalau dilihat dari standar honor resmi , mustahil masuk kategori orang kaya. Pegawai negeri itu kategori orang miskin di Indonesia. Pegawai negeri dengan honor puluhan juta saja sudah tidak masuk logika dan tidak adil. Jika ada yang memiliki kekayaan ratusan juta , tentu pegawai negeri yang luar biasa.
Namun , kini banyak pegawai negeri dan pegawai negara yang rekeningnya miliaran rupiah bahkan triliunan rupiah. Dari mana mereka memiliki simpanan sebanyak itu? Sejauh mana kerusakan negara yang telah mereka perbuat? Berapa banyak jiwa tidak tertolong oleh timbunan korupsinya?
Vampir yang sesungguhnya yaitu mereka , para koruptor. Dan beberapa dari mereka telah tertangkap akhir bangkit kesiangan.
Jakob Sumardjo , Budayawan
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Koruptor Membunuh Negara"