Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Koalisi Dan Zaken Kabinet

Kiki Syahnakri

MENYUSUL beredarnya hasil Pemilu Legislatif 9 April 2014 versi quick count , sekarang media diramaikan oleh wacana publik ihwal pembentukan koalisi.
Potret perolehan bunyi serta manuver elite politik mengindikasikan bakal ada tiga atau empat kelompok koalisi. Langkah koalisi tak terhindarkan alasannya yaitu tak ada satu pun partai yang berhasil melewati presidential threshold 20 persen bunyi untuk mengusung calon presiden/wakil presiden setrik mandiri.

Berbagai diskursus bermunculan membahas kemungkinan rujukan koalisi yang bakal lahir. Misalnya , ihwal corak koalisi yang mungkin dibangun menurut kesamaan ideologis dan platform kepartaian , atau sekadar alasannya yaitu kebutuhan pragmatis , temporer.

Pola koalisi macam apa yang bakal bisa menumbuhkan soliditas di DPR serta sanggup membangun zaken kabinet atau kabinet jago yang berorientasi pada kepentingan nasional dan meninggalkan kepentingan kelompok , bisa mengatakan performa (ter)baik sehingga menjamin efektivitas kinerja pemerintahan ke depan.

Pola koalisi

Menilik rujukan gaul elite politik serta model pendekatan antar-parpol dalam beberapa hari belakangan ini , ada arahan masih adanya kemungkinan koalisi yang tidak didasarkan atas kesamaan ideologi atau platform partai politik , menyerupai pendekatan antara Gerindra , Partai Keadilan Sejahtera (PKS) , dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Indikasi corak koalisi dengan orientasi bagi-bagi kekuasaan pun masih cukup besar alasannya yaitu masih ada parpol papan tengah yang mengatakan calon wakil presiden sebagai syarat berkoalisi , menyerupai yang dilakukan
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Namun , patut pula diberi acungan jempol atas perilaku Partai Nasdem yang bersedia untuk berkoalisi dengan PDI-P tanpa menyodorkan cawapres atau meminta dingklik menteri. Penilaian atas hal ini sangat penting alasannya yaitu koalisi dengan motif kekuasaan yang biasanya berujung pada politik dagang sapi sanggup dipastikan bakal melahirkan pemerintahan yang gampang goyah dan sulit mewujudkan kinerja optimal manakala setiap partai merasa kepentingannya tidak lagi diakomodasi.

Rapuhnya pemerintahan kala SBY serta selama kala sistem parlementer tahun 1950-an—karna rujukan koalisi pragmatis yang tidak bisa melahirkan santunan bundar di DPR ataupun kabinet—seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia , khususnya bagi para elite politik. Sistem demokrasi dalam kondisi multipartai menyerupai yang sedang berjalan di Indonesia ketika ini mutlak membutuhkan rujukan koalisi yang kuat.

Pola koalisi menyerupai itu hanya mungkin terbentuk jikalau tiap-tiap parpol beserta elite politiknya bisa meninggalkan kepentingan kelompok dan berorientasi pada kepentingan nasional , mendukung presiden terpilih dan kabinet profesionalnya , serta presiden terpilih punya keberanian untuk membentuk zaken kabinet apa pun risikonya.

Oposisi di DPR tetap diharapkan , tetapi harus merupakan koreksi atas kebijakan dalam upaya mencapai tujuan nasional , bukan dengan orientasi pada kepentingan kelompok/parpol.

Zaken kabinet

Siapa pun presiden terpilih nanti pasti bakal pribadi dihadang banyak pekerjaan rumah yang amat rumit. Kondisi perekonomian nasional dihadapkan pada total utang luar negeri (pemerintah dan swasta) pada selesai 2013 yang mencapai Rp 3.000 triliun , sementara debt service ratio (DSR) atau perbandingan antara devisa dari ekspor yang didapatkan dihadapkan pada kewajiban membayar utang pokok dan bunganya setiap tahun mencapai 41 ,4 persen. Persentase ini telah jauh melampaui lampu merah.

Rasio gini yang lazim dipakai untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan telah mencapai 0 ,41 (Data Badan Pusat Statistik , 2012) , naik tajam dari 0 ,32 (2002). Kemunduran serius yang memperlihatkan jurang antara si kaya dan miskin tambah menganga. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tahun 2013 menempati urutan ke-121 dari 185 negara , dengan skor 0 ,629 , jauh di bawah Singapura , Malaysia , Thailand , Brunei , dan Filipina. Posisi kita hanya berada satu tingkat di atas Vietnam dan negara-negara Indochina lainnya , serta Myanmar dan Timor Leste.

Laporan BPS September 2013 mencatat 11 ,37 persen (28 ,55 juta) penduduk Indonesia berstatus miskin. Angka ini dihitung dengan ambang batas kemiskinan BPS , yaitu Rp 271.626 per bulan. Bila menggunakan standar Bank Dunia , yaitu 2 dollar AS
per kapita per hari , penduduk berstatus miskin Indonesia menjadi hampir 100 juta orang. Data BPS lainnya menyebutkan pada Agustus 2012 jumlah penganggur terbuka mencapai 7 ,6 juta atau sekitar 6 ,32 persen dari angkatan kerja 120 ,4 juta orang.

Dari perspektif politik , implementasi otonomi tempat (otda) yang bertendensi federalistis , melahirkan banyak ”raja kecil” yang cenderung feodalis dan korup , pada ujungnya telah menumbuhkan hasrat pemekaran tempat yang nyaris tak terkendali. Di bidang pertahanan dan keamanan , kita masih memiliki pekerjaan rumah besar , terutama di Papua dan Aceh. Dalam aspek budaya tumbuh subur materialisme , hedonisme , KKN , dan anarkisme.

Potret di atas menuntut pemerintahan mendatang harus merupakan kabinet jago (zaken kabinet). Kebiasaan dagang sapi harus segera diakhiri. Koalisi di DPR harus didasarkan pada kepentingan nasional , bukan kepentingan pribadi/kelompok. Para menteri di kabinet harus terdiri atas para profesional. Kalaupun direkrut dari kader parpol ,  harus merupakan jago di bidangnya.

Dalam pemilu presiden/wakil presiden yang bakal tiba , sebaiknya para kandidat telah menyertakan susunan kabinet. Bersamaan dengan itu , media massa menyosialisasikan biodata serta rekam jejak mereka.

Dengan demikian , para pemilih bakal melihat sekaligus menyeleksi para calon presiden/wapres serta para calon pembantunya sehingga kemungkinan terbentuknya zaken kabinet menjadi lebih besar , sekaligus bisa dihindarkan kebiasaan politik dagang sapi. 

Kiki Syahnakri , Ketua Badan Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat
KOMPAS , 21 April 2014

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Koalisi Dan Zaken Kabinet"

Total Pageviews