Sulistyowati Irianto
Namun , gotong royong mereka sedang menjadi penyumbang bagi kemajuan bangsa lain , menumbuhkan ekonomi global , alasannya menggantikan tugas domestik para majikan perempuannya di negara tujuan. Berkat keberadaan mereka , wanita kaya bangsa lain sanggup bekerja ke luar rumah , berkarier , dan berproduksi. Ini berarti TKW kita menyumbang tidak hanya kepada pekerjaan reproduksi , tetapi juga produksi di negara tujuan.
Terdapat gelombang migrasi wanita yang masif dari negara miskin ke negara-negara kaya. Dalam konteks Indonesia , devisa yang dihasilkan setara dengan utang luar negeri kita. Namun , mereka tidak menghitung bahwa risiko yang menghadang juga sangat besar , yakni berupa kekerasan fisik , seksual , dan kalau melaksanakan perlawanan (bisa juga alasannya membela diri) sanggup dipancung. Dengan risiko yang mengerikan itu , pertanyaan kita yaitu mengapa mereka tetap saja pergi bermigrasi?
Teori migrasi kuno menyampaikan , ada faktor penarik dan pendorong , yang pada dasarnya yaitu kemiskinan mendorong orang pergi ke daerah dengan sumber daya melimpah. Namun , teori ini sudah ketinggalan zaman. Menjelaskan fenomena migrasi pada masa sekarang harus dikaitkan dengan problem hak asasi dan proteksi hukum. Pergi bermigrasi yaitu hak asasi dan proteksi aturan kepada kaum migran harus dijamin oleh negara-negara tujuan di seluruh dunia , tanpa batas kewarganegaraan.
Pada masa sekarang , fenomena migrasi lebih sanggup dijelaskan melalui pendekatan kultural dengan mempersoalkan identitas. Mengapa pelanggaran hak kaum migran terjadi? Mereka distrukturkan sebagai liyan , other , bukan kaum kita alasannya mereka berbeda bangsa , etnik , ras , kelas sosial , (kadang juga agama) , jender , dan jenis pekerjaan. Semua pembedaan ini menempatkan mereka sebagai orang yang tak memiliki derajat dan hak yang setara , termasuk proteksi hukum.
Dalam penelitian aku di Uni Arab Emirat , contohnya , diketahui bahwa kasus aturan berkelindan dengan konteks sosial-kultural masyarakat. Setiap orang didefinisikan setrik terang identitasnya , apakah beliau orang Emirati atau non-Emirati. Warga Emirati memiliki hak-hak paling istimewa. Apabila non-Emirati , apakah Arab atau non-Arab. Semakin hilang ke-Arab-annya , semakin hilang hak-hak istimewa seseorang setrik kultural. Warga non-Arab masih dibedakan lagi apakah beliau orang Amerika atau Inggris , yaitu warga negara absurd yang menduduki daerah paling istimewa. Warga non-Barat , masih dibedakan lagi dari mana asalnya. Pemerintah India sudah usang melarang warganya bekerja di sektor informal tanpa proteksi aturan , maka mereka bekerja di sektor perdagangan. Demikian pula orang Filipina yang lebih berpendidikan dan sanggup berbahasa Inggris semakin banyak yang bekerja di sektor formal. Di daerah terbawah yaitu warga dari negara miskin: Pakistan , Banglades , Etiopia , dan Indonesia , yang bersedia bekerja sebagai buruh murah. Masih ada satu identitas pembeda yang signifikan , yang berimplikasi pada hak dan proteksi aturan , yaitu jenis kelamin.
Dari struktur ini sanggup dijelaskan bahwa TKW Indonesia berada di tingkat terbawah: bangsa lain , miskin , tidak berpendidikan , pekerja rendahan , dan perempuan. Kesamaan identitas agama ternyata bukan faktor determinan. Setrik kultural perbedaan etnis , kelas , jender , dan jenis pekerjaan dianggap lebih signifikan. Hal ini tecermin dalam gimana mereka merumuskan proteksi hukum. Setrik eksplisit UU Perburuhan di negeri itu menyatakan bahwa pekerja domestik (bersama dengan pekerja pertanian) dikategorikan sebagai informal dan dikecualikan dari proteksi hukum. Dengan demikian , tidak ada satu pun instrumen aturan yang melindungi mereka. Inilah klarifikasi mengapa mereka rentan mengalami diskriminasi dan kekerasan.
Mengapa mereka tidak jera dan tetap pergi? Dalam konteks Indonesia , migrasi ke negara-negara Arab harus dijelaskan setrik khusus melalui problem identitas religiositas. Para wanita TKW itu pada umumnya berasal dari keluarga religius di kampung , menjalankan ritual agama , dan mengidentikkan Arab dengan religiositas. Para TKW dalam penelitian bercerita bahwa pengerah tenaga kerja di kampung (broker) tidak jarang yaitu orang yang dihormati sebagai tokoh agama. Mereka inilah yang menyodorkan harapan wacana negeri Arab dan identitas religius. Sekitar 60 responden TKW diminta membuat gambar wacana negara tujuan dan ternyata banyak yang menggambar simbol Tempat Suci.
Sesampainya di penampungan pra-pemberangkatan (Condet , termasuk wilayah penelitian) , mereka mendapati bahwa pemilik agensi kebanyakan yaitu juga keturunan Arab yang dianggap akrab dengan identitas kesucian. Selanjutnya mereka pun diberangkatkan ke negara-negara Arab (sebagai catatan , agensi yang memberangkatkan TKW ke Hongkong atau Taiwan yaitu juga keturunan Tionghoa). Begitulah identitas religiositas menuntun mereka pergi. Akhirnya , di negara tujuan barulah mereka mengalami sendiri ternyata imajinasi berbeda dengan realitas.
Sayangnya , pemerintah kita tidak cukup membekali mereka dengan pengetahuan wacana budaya masyarakat Arab di balaibalai latihan kerja. Bagaimana contoh hidup masyarakat di sana , apa yang boleh dan tidak boleh. Pembekalan ini sangat penting , mengingat mereka minim pendidikan (pada umumnya lulus SD , tidak simpulan , atau bahkan ada yang buta huruf). Selain itu , mereka tidak dibekali dengan perisai pengetahuan aturan dan jalan masuk kepada derma aturan yang memadai saat diperlukan.
Puncak dari semua itu yaitu ketiadaan keberanian diplomasi dari pemerintah untuk membela warga bangsa sendiri di hadapan bangsa lain. Kita lihat saja apakah pemerintah cukup berani membawa problem diyat ke lembaga internasional saat besarnya pembayaran yang dituntut sebagai restitusi sudah semakin tidak masuk akal.
Sulistyowati Irianto , Direktur Sekolah Pascasarjana Multidisiplin UI
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Mengapa Satinah Tetap Pergi?"