LAPORAN DISKUSI
INDONESIA DALAM PERUBAHAN POLITIK DAN EKONOMI DI ASEAN
Tim Kompas
HAMPIR lima dekade Myanmar berada di bawah rezim militer yang menutup diri terhadap dunia internasional. Angin perubahan balasannya bertiup sesudah pada pemilu 2010. Thein Sein , mantan perdana menteri rezim dan jenderal beraliran moderat , terpilih sebagai presiden yang memimpin pemerintahan sipil donasi militer.
Sejumlah langkah reformasi dilakukan , antara lain pembebasan tahanan politik , melonggarkan pembatasan media , izin bagi buruh untuk berserikat , dan keleluasaan bagi tokoh oposisi Aung San Suu Kyi untuk terjun ke dunia politik. Upaya ini cukup meyakinkan negara-negara di daerah Asia Tenggara untuk tak lagi menunda giliran Myanmar menjadi ketua ASEAN pada 2014.
Namun , isolasi semenjak militer berkuasa pada 1962 membuat negeri itu hanya memiliki sedikit pengalaman bersentuhan dengan dunia luar , selain kekerabatan ekonomi yang dekat dengan Tiongkok. Tak heran masih ada kecurigaan pada hal berbau abnormal atau Barat , menyerupai sistem demokrasi , supremasi aturan , hak warga negara , dan sistem pasar.
Dalam beberapa hal , proses yang dijalani Myanmar mengingatkan pada pengalaman Indonesia. Muncul pertanyaan , bisakah Myanmar berubah dan apakah Indonesia sanggup menjadi pola bagi Myanmar?
Kedua negara sama-sama menjalani periode demokrasi parlementer pada dekade 1950-an. Lalu terjadi transisi dari sistem demokratis ke pemerintahan otoritarian , diikuti nasionalisme ekonomi , serta tugas negara yang semakin dominan. Di Myanmar , kekuasaan dijalankan rezim militer. Di Indonesia , Soekarno memimpin dengan demokrasi terpimpin sebelum diambil alih militer. Karena itu , militer kedua negara menjadi faktor penentu di bidang politik , ekonomi , dan sosial kemasyarakatan.
Situasi Indonesia berubah cepat pada kurun reformasi. Diawali tumbangnya Orde Baru , disusul reformasi demokrasi , kebijakan desentralisasi , keterbukaan masyarakat madani , dan kebebasan pers. Apakah Myanmar bakal menempuh jalan serupa?
Perubahan terkendali
Meski ada kesamaan di permukaan , terdapat juga perbedaan penting. Bangkitnya rezim militer di Indonesia semenjak 1965 malah menghapus nasionalisme ekonomi kurun Soekarno dan bergerak menuju integrasi lebih luas dengan ekonomi global. Sebaliknya , militer Myanmar memperkuat nasionalisme ekonomi dan lebih memandang ke dalam.
Perbedaan lain , kekuasaan militer Indonesia dan tugas ekonomi mereka justru berkurang pada kurun Soeharto. Terjadi pergeseran dari kekuasaan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pada awal Orde Baru ke kekuatan gres berbasis pada Golongan Karya dan pemilu terkontrol. Teknokrat mulai berperan dalam pengambilan kebijakan. Saat reformasi terjadi , militer tak lagi menjadi penghalang.
Di Myanmar , militer terus mencengkeram. Kekuasaan ala Kopkamtib dipertahankan untuk memberangus masyarakat sipil. Peran ekonomi mereka terus berkembang. Militer menguasai sejumlah perusahaan besar , terutama di sektor gas dan kehutanan , meski kini dibubarkan.
Hal lain yang membedakan , kelompok masyarakat madani di Myanmar ringkih dan jumlahnya terbatas. Pengajaran bahasa Inggris sempat dilarang semenjak 1960-an alasannya yakni dianggap sebagai bahasa kaum imperialis. Pendidikan berisi propaganda pemerintah yang diawasi militer. Gerakan oposisi lebih didasarkan pada kebencian terhadap pemerintah dan ketertarikan pada figur Suu Kyi yang karismatik , tanpa ideologi atau kerangka kerja organisasi jelas.
Cengkeraman militer
Akhirnya pelaku reformasi tiba dari kalangan pemerintahan militer. Reformasi hanya sanggup dilakukan terbatas alasannya yakni ada kubu dalam militer menolak reformasi khawatir kehilangan kekuasaan konstitusional , dingklik di DPR , dan laba ekonomi. Belum lagi peluang perpecahan kalau kekuasaan militer melemah mengingat etnisitas minoritas , menyerupai Kachin , menggelorakan perlawanan bersenjata untuk memisahkan diri. Lalu juga ada problem etnis Rohingya.
Ini berbeda dari Indonesia yang memiliki masyarakat madani cukup berpengaruh dan berperan besar menggulirkan reformasi. Di bidang hak asasi insan , Indonesia telah memiliki Komisi Nasional HAM semenjak Soeharto masih berkuasa. Indonesia juga tidak menutup diri dari dunia luar dan menjalani politik luar negeri bebas aktif sesuai Undang- Undang Dasar 1945.
Myanmar memang sanggup becermin pada Indonesia dalam sejumlah hal , termasuk mengelola desentralisasi dan otonomi daerah. Namun , keragaman etnisitas di Myanmar cukup menjadikan masalah. Dari segi geografis , kerusuhan di satu daerah di Myanmar sanggup menjalar dengan cepat ke daerah lain. Hal ini sanggup menjadi alasan militer Myanmar tidak begitu saja membuka keran demokratisasi atau otonomi daerah.
Pada balasannya reformasi politik , ekonomi , dan demokrasi di Myanmar bakal sulit ditempuh kalau militer masih mencengkeram berpengaruh kekuasaan. Bagi militer hanya ada dua pilihan: sekuat tenaga mempertahankan kepentingan mereka ketika ini atau melihat perubahan tak sanggup dihindari sehingga harus dikendalikan dan diatur oleh militer.
Selain itu , tugas masyarakat madani yang masih berada di tahap awal demokratisasi memperlihatkan bahwa jalan masih panjang bagi Myanmar untuk menjalankan reformasi politik menuju negara yang demokratis.
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Jalan Panjang Reformasi Myanmar"