Iwan Pranoto
Ekspedisi ini membuat satu torehan penting dalam sejarah sains dan rekayasa Asia. India bakal jadi negara Asia pertama yang mencapai Mars dan jadi negara ke-4 di dunia yang melakukannya. Para peneliti dari Indian Space Research Organisation ini ingin tahu apa yang salah pada planet Mars sehingga tak bisa mendukung kehidupan.
Solusi menyeluruh
Peluncuran pesawat tadi tentu hebat. Namun , justru perilaku gigih dalam mencari solusi setrik menyeluruh sekaligus tak terganggu kondisi serba kekurangan itulah yang benar-benar dahsyat. Kendala keterbatasan dana malah melahirkan frugal innovation atau penemuan hemat. Sikap kesungguhan mencari solusi menyeluruh itulah yang perlu dipelajari dan berimbas ke kita.
Biaya ekspedisi ke Mars ini hanya tiga perempat biaya pembuatan film Hollywood bertema eksplorasi angkasa , yakni Gravity , yang menghabiskan dana sekitar 100 juta dollar AS. Sebagai perbandingan , ekspedisi NASA untuk ke Mars menghabiskan lebih dari 600 juta dollar AS. Oleh sebab itu , New York Times justru menyoroti ekspedisi ini sebagai sebuah penemuan taktik bisnis yang cemerlang.
Kisah sukses di atas eksklusif mengingatkan kembali penulis pada buku The Fortune at The Bottom of the Pyramid karya CK Prahalad , seorang guru besar taktik dan bisnis internasional di University of Michigan Business School , AS. Dalam buku itu diungkapkan gimana taktik pembangunan dan juga kebijakan sangat mungkin bertolak pada dasar piramida ekonomi , yakni masyarakat berpenghasilan paling rendah yang biasanya paling banyak. Lebih dari itu , bahwasanya buku itu memberikan pemahaman mendalam bahwa solusi dari permasalahan apa pun harus menyeluruh dan tak boleh mengabaikan hambatan dalam proses membuat solusinya.
Sebagai ilustrasi , sebuah pabrik kaki palsu Jaipur Foot di India diminta mendesain kaki palsu bagi masyarakat bawah , dasar piramida. Dalam mereka-cipta kaki palsu ini , para pendesain dituntut memperhitungkan hambatan yang ada. Pertama , pengguna ialah kalangan masyarakat tak mampu. Kedua , proses pembuatannya harus menggunakan materi lokal. Ketiga , pengguna kaki palsu ini kebanyakan petani yang harus berjalan jauh di jalanan buruk. Keempat , pengguna kaki palsu dalam ritualnya perlu sanggup menyilangkan kakinya. Kelima , para pegawai pabrik yang ada punya keterbatasan keterampilan.
Akhirnya , pabrik ini berhasil merancang kaki palsu yang memenuhi lima persyaratan tadi. Jika di AS harga kaki palsu itu sekitar Rp 80 juta , pabrik ini berhasil memproduksinya dengan harga Rp 300.000 saja dan cocok serta baka digunakan di jalanan pedesaan.
Dari ilustrasi tadi , tampak bahwa proses pembuatan solusi dalam bentuk taktik bahkan desain harus terus-menerus memperhitungkan hambatan dalam tiap tahapannya. Jika saja pabrik kaki palsu itu meniru desain kaki palsu dari AS yang mahal tadi , gres kemudian dimodifikasi untuk diproduksi di pabrik sederhana tersebut , kemungkinan besar bakal gagal diproduksi atau tak laris dijual serta merugi. Tetapi , dengan selalu memasukkan unsur hambatan dalam proses pembuatan desain dan taktik , solusi final menjadi menyeluruh , tak terhambat hambatan lagi.
Teori meningkatkan setrik optimal juga memberikan pesan mirip: hambatan harus selalu dilibatkan dalam proses penemuan solusi optimum. Kendala dipadukan ke dalam besaran obyektif yang hendak dioptimumkan semenjak awal.
Kebijakan pendidikan
Bagaimana bila trik pandang yang sama diterapkan pada pembuatan kebijakan pendidikan? Telah diketahui pendidikan dasar dan menengah di Indonesia punya hambatan kemudahan sekolah dan guru bermutu yang belum tersebar dan tersedia setrik mencukupi.
Lalu , apakah kebijakan pendidikan ibarat kurikulum terdahulu hingga Kurikulum 2013 , contohnya , sudah memperhitungkan hambatan pendidikan kita tadi? Apakah desain pembelajaran yang direka-cipta sudah memungkinkan pelajar di tempat terpencil tetap berguru setrik bermakna walau guru bermutu tak tersedia di sekolahnya? Atau apakah pelajar di pedalaman tetap bisa berguru sains setrik baik meski kemudahan laboratorium di sekolahnya tak ada? Apa penemuan ekonomis Indonesia dalam taktik kebijakan pendidikan untuk keadaan di Tanah Air ini?
Kebijakan pendidikan harus direka-cipta dengan senantiasa memperhitungkan hambatan yang ada. Kendala pendidikan tak boleh diabaikan. Cara meniru model pendidikan Finlandia , Singapura , Korea Selatan , dan AS terang meragukan. Metode pendidikan mereka tak serta-merta cocok sebab kendalanya berbeda. Indonesia harus menemukan solusinya sendiri.
Kecuali kurangnya guru bermutu serta penyebarannya yang terbatas dan kemudahan sekolah yang jauh dari memadai , infrastruktur di beberapa tempat sangat minim. Siswa di pedalaman ada yang harus berjalan kaki menembus hutan untuk bersekolah sebab di desanya belum ada sekolah. Banyak siswa di pulau terpencil yang hanya punya satu guru. Buku dan listrik pun belum tentu tersedia. Bagaimana model pembelajaran yang memperhitungkan hambatan ini?
Kendala-kendala di atas ialah fakta dunia pendidikan Indonesia , bahkan hingga hari ini. Mencari dan memberikan siapa penyebabnya tak guna. Lebih penting segera mereka-cipta solusi kebijakan pendidikan nasional yang membangun kasmaran berguru setiap siswa serta sudah memperhitungkan kendala-kendala tadi sebagai faktor utama dalam solusinya.
Sebaliknya , perlu dilarang banyak sekali kebijakan boros serta yang justru tetap dihambat banyak sekali kendala. Misalnya , penciptaan model pembelajaran atau kurikulum yang mensyaratkan gurunya harus sudah kompeten tentu kecil manfaatnya. Ketersediaan guru kompeten di pelosok-pelosok terang sulit atau tidak mungkin dipenuhi dalam waktu dekat. Lalu , apakah bawah umur bangsa ini harus menunggu gurunya kompeten dahulu sebelum mereka sanggup mencicipi pendidikan bermutu?
Ini tantangan bagi Balitbang Kemdikbud ke depan untuk mereka-cipta model pembelajaran yang memang sungguh-sungguh memperhitungkan hambatan yang ada. Untungnya , ketika ini teknologi warta tersedia murah dan sanggup dimanfaatkan dalam mereka-cipta solusi pendidikan yang utuh menyeluruh.
Iwan Pranoto , Guru Besar ITB
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Solusi Menyeluruh"