Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Para Caleg Kita


Bre Redana

Ketika mudik di Jawa Tengah beberapa bulan sebelum pemilu kemudian , salah satu anak wanita famili mendekati saya. Tak terang gimana kaitan keluarga saya , tapi di kampung saya semua merasa bersaudara. Mungkin tahu beberapa saudara istri saya tinggal di Hongkong , beliau meminta saya membantunya mencarikan pekerjaan di Hongkong. Istilahnya sebagai TKI alias tenaga kerja Indonesia.

”Tapi kepastiannya sehabis pemilu April nanti ,” ucapnya.

”Kenapa?” tanya saya.

”Saya bakal nyaleg dulu. Kalau terpilih , ya , tak jadi cari kerja di Hongkong.”

”Oh... ,” saya terheran-heran. ”Jadi ikut nyaleg?” tanya saya.

”Ya ,” ujarnya. ”Kalau gagal , Om carikan pekerjaan di Hongkong , ya. Kalau di sini saya pekerjaan milih-milih. Di luar (negeri) pekerjaan apa saja saya mau. Kaprikornus pembantu rumah tangga tidak apa-apa ,” lanjutnya.

”Jika terpilih jadi anggota legislatif , mau melaksanakan apa?” saya jadi kepo alias ingin tahu.

”Mau berjuang.”

”Dengan trik gimana?”

”Pokoknya berjuang. Memperjuangkan nasib rakyat. Pokoknya begitu Om. Kalau gagal , jadi pembantu rumah tangga pun asal di luar negeri saya mau ,” beliau menegaskan keinginannya.

Saya tak bertanya lebih lanjut.

Menjelang pemilihan legislatif banyak orang mencalonkan diri. Lulusan SMEP yang pernah kerja di pabrik garmen di Ungaran ibarat saudara saya tadi , tukang bakso , pengojek , calo tanah , ibu rumah tangga banyak duit , artis , pensiunan , dan lain-lain. Kepada mereka , saya anggap tidak relevan bertanya apa kepercayaan perjuangannya , orientasi ideologinya , gagasan kemasyarakatannya , imajinasinya wacana negara bangsa , dan semacamnya. Buat apa. Ini bukan zaman Tan Malaka. Ini zaman politikus jadi-jadian.

Mengajukan pertanyaan semacam itu kepada mereka , sama saja bertanya pada sales promotion girl atau SPG di mal-mal yang mengatakan hunian baik rumah maupun apartemen , mengenai konsep dagangan mereka.

”Om , apartemen. Minimalis ,” kata seorang SPG sembari membagi-bagi brosur.

”Saya ingin cari apartemen yang bentuknya penuh gesekan , glamor , ramai , tiangnya ibarat bangunan Romawi ,” ucap saya.

”Oh itu modern minimalis ,” sahutnya.

”Modern minimalis itu ibarat apa?”

”Mari saya tunjukkan contohnya ,” katanya antusias.

Kata minimalis kini berhamburan dari penjual rumah , furnitur , dekorasi ruangan , dan lain-lain.

Tentu saja saya tadi cuma terdorong iseng demi melihat si SPG yang tidak mengecewakan manis. Kalau benar-benar ingin tahu minimalisme dalam ranah arsitektur post-modernisme tentu saya bakal bertanya kepada arsitek Marco Kusumawijaya atau Andy Siswanto.

Begitu pun soal konsep dan masa depan bangsa. Saya tidak bakal bertanya kepada para calon anggota legislatif kita , termasuk mereka yang mencalonkan diri sebagai presiden sekalipun. Di media umum , beberapa akademisi mencoba membahas istilah-istilah yang diucapkan para calon ini , dari marhaenisme hingga nasionalisme. Kesimpulannya , para calon dianggap kurang paham apa yang diucapkannya. Marhaen gadungan , nasionalis gadungan.

Keponakan saya , cewek yang gres saja diterima kerja di perusahaan penjual barang-barang fashion kelas atas berucap , ”Ya iyalah , mereka kan cuma pengin berkuasa. Pengin kaya....”

Begitulah sebetulnya kasus bahasa dari waktu ke waktu. Kita semua tahu , penggunaan bahasa , apalagi masuk ke ranah konsep , mengalami kemunduran. Hanya saja , rahasia kita juga tahu , kita sebetulnya tak sanggup berbuat apa-apa atas kemerosotan berbahasa tersebut.

Kata-kata dan bahasa menjadi tidak akurat alasannya yakni otak kita tumpul. Atau sebaliknya , otak kita tumpul alasannya yakni terbiasa mendapatkan bahasa yang serampangan , gampangan. Otak terbiasa malas mencari akurasi dan lama-lama jadi tumpul beneran.

Terus terang , semoga anakronisme politik tidak kian menjadi-jadi , saya berharap saudara saya di kampung itu gagal jadi anggota legislatif. Sebaliknya , saya juga berharap , beliau lupa dan tidak menghubungi saya untuk mencarikan pekerjaan di Hongkong. Saya bukan biro penyalur tenaga kerja. 

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Para Caleg Kita"

Total Pageviews