Carunia Mulya Firdausy
Wacana merevisi garis kemiskinan untuk menghitung jumlah penduduk miskin nasional sudah bikin para pakar bosan meneriakkannya. Syukurlah bahwa paling tidak Bappenas sudah sedikit demi sedikit mendiskusikan hal tersebut semenjak pertengahan tahun lalu. LIPI juga tidak mau kalah ketinggalan kereta dan telah memulai penelitian menyangkut informasi ini semenjak 2012 dalam kegiatan penelitian kompetitifnya.
Jika hasil diskusi Bappenas dan penelitian LIPI final , pemerintah gres mendatang sanggup memanfaatkan hasil diskusi dan temuan penelitian itu untuk merevisi garis kemiskinan (GK) nasional. Mengapa GK yang ada selama ini harus direvisi?
Paling tidak ada lima alasan sederhana berikut ini.
Pertama , GK nasional selama ini tidak sanggup dijadikan alat untuk merencanakan pengentasan orang miskin , apalagi untuk merencanakan pembangunan nasional. GK tersebut hanya meliputi komponen pengeluaran masakan (52 komoditas dasar) yang diadaptasi dengan inflasi umum atau indeks harga konsumen (IHK) dalam periode tertentu ditambah dengan komponen pengeluaran nirmakanan yang meliputi perumahan , sandang , pendidikan , dan kesehatan (BPS , 2011 , hal 98). Makara , bukan saja kedalaman kemiskinan yang tidak sanggup diukur , melainkan juga potret dan faktor penyebab kemiskinan tidak sanggup tajam dipetakan.
Kedua , GK selama ini perhitungannya terbatas pada komponen masakan dan nirmakanan tertentu saja. Padahal , kebutuhan seseorang tidak hanya terbatas pada kebutuhan pangan dan nirmakanan tertentu semata.
Ketiga , GK ketika ini tidak memperhitungkan kebutuhan seseorang terhadap pangan protein dan perbedaan harga komoditas pangan antardaerah. Akibatnya , jumlah penduduk miskin sanggup menjadi infeksi di tempat dengan harga pangan tinggi dan rendah di tempat dengan harga pangan relatif murah. Begitu pula jikalau perhitungan GK pangan disetarakan dengan standar kebutuhan kalori. Penggunaan GK setara kalori menjadi sesat lantaran terdapat pangan berkalori tinggi tetapi berharga murah.
Keempat , pemilihan komponen nirpangan masih dilakukan setrik diktatorial sehingga sanggup mengakibatkan rendah atau tingginya GK.
Kelima , menghitung jumlah penduduk miskin dilakukan dalam periode satu tahun. Perhitungan jumlah penduduk miskin dalam satu tahun bakal membuat faktor penyebab kemiskinan menjadi kumpulan faktor. Akibatnya , pemerintah bakal sulit menetapkan faktor signifikan penyebab kemiskinan di satu sisi dan kegiatan spesifik yang harus diterapkan dalam mengentaskan orang miskin di sisi lain (Firdausy dkk , 2012 dan 2013). Makara , tidak abnormal jikalau klaim bahwa pemerintah berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin dari tahun ke tahun kurang sesuai dengan kenyataan di lapangan.
Hasil penelitian LIPI
Memang harus diakui sulit menetapkan GK yang ”tepat” untuk menghitung jumlah penduduk miskin. Hasil penelitian LIPI selama dua tahun kemudian gres hingga memastikan bahwa GK nasional sebesar Rp 250.000 per kapita per bulan tidak sempurna lagi digunakan sebagai GK nasional. Responden di Yogyakarta , Palembang , dan Makassar umumnya menyatakan Rp 500.000 per orang per bulan (atau Rp 1 ,5 juta per keluarga dengan anak dua orang) lebih pas digunakan sebagai nilai rupiah menghitung jumlah penduduk miskin.
Nilai rupiah GK di atas diperoleh dengan menggunakan metode subyektif atau self-rated pkelewat / overty line (Mangahas , 2008). Jika digunakan penghitungan dengan memasukkan aspek multidimensi (Bank Dunia , 2000 dan Sen , 1999) yang meliputi komponen keberdayaan , kemampuan , kesempatan , dan keamanan , responden miskin dan nirmiskin di Pontianak dan Jambi tidak sanggup menetapkan besaran nilai rupiah GK , baik untuk per kapita , apalagi per keluarga.
Yang menarik dari temuan penelitian ini , selain kritik responden terhadap GK nasional selama ini , responden juga menganggap pentingnya komponen keberdayaan dan keamanan sebagai aspek yang harus dihitung dalam penetapan nilai rupiah GK nasional di luar aspek kemampuan dan kesempatan.
Temuan dua tahun penelitian LIPI ini tentu tidak sanggup setrik sederhana diartikan bahwa nilai rupiah GK revisi harus tiga atau empat kali nilai rupiah GK nasional yang digunakan selama ini. Yang ingin dikatakan yakni bahwa penetapan GK ke depan di satu sisi perlu memperhatikan perubahan komponen pangan dan nirpangan yang digunakan selama ini , sekaligus menambah komponen-komponen lain di luar komponen pangan dan nirpangan itu sendiri di sisi lain .
Selain itu , temuan LIPI juga mengisyaratkan bahwa penetapan GK revisi mendatang harus memperhatikan tidak saja yang menyangkut aspek ketersediaan , melainkan juga menyangkut aspek kemudahan dan daya beli setiap aspek multidimensi kemiskinan.
Kompleksitas komponen yang harus diakomodasi dalam GK revisi mendatang memang bakal menjadikan pengaruh negatif baik dalam arti politik , sosial , dan ekonomi bagi pemerintah mendatang. Hal ini disebabklan pemakaian GK revisi tersebut bakal berakibat nilai rupiah semakin besar sehingga jumlah penduduk miskin semakin besar pula.
Namun , pengaruh negatif tersebut pada irit saya bakal berjangka pendek. Sebaliknya , dalam jangka menengah dan panjang , penggunaan GK revisi sanggup memacu kerja keras banyak sekali pihak untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kegiatan pembangunan nasional , terlebih lagi jikalau kita bermimpi menjadi negara maju pada tahun 2030.
Inilah salah satu pekerjaan yang harus berani dilakukan pemerintahan mendatang , siapa pun nanti mereka. Semoga.
Carunia Mulya Firdausy , Profesor Riset LIPI , Guru Besar Ekonomi Universitas Tarumanagara
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Revisi Atas Garis Kemiskinan"