Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Sistem Presidensial

Bambang Kesowo

TULISAN ini tidak dipikirkan dalam konteks pembagian kekuasaan negara dan kedudukan forum kepresidenan di dalamnya. Bukan pula dalam kaitannya dengan soal kemampuan membaca real politics , apalagi dengan soal membangun koalisi antarpartai politik yang diperkirakan bakal sanggup menjadi penopang.

Pengalaman terakhir menunjukkan , reka-pikir sekitar yang terakhir tadi ternyata bukan saja meleset , melainkan malah bagai menggali lubang bagi diri sendiri. Tulisan ini hanya dititikberatkan pada gimana sebaiknya membangun hubungan kerja presiden dan wakil presiden dalam memimpin pemerintah dan pemerintahan negara di masa depan yang lebih efektif. Bagaimana membuat kabinet yang dipimpinnya sanggup bekerja lebih efektif.

Tugas wakil presiden

Dalam sejarah kepresidenan Negara Kesatuan Republik Indonesia , kita memiliki sepuluh wakil presiden. Dibandingkan dengan wakil presiden sesudahnya , mungkin tidak banyak yang sempat diketahui setrik detail gimana kiprah dan fungsi Wapres Mohammad Hatta ketika dia membantu Presiden Soekarno menjalankan pemerintahan republik ini , kecuali nilai dwitunggal dalam kepemimpinan politik selaku Bapak Pendiri Bangsa (founding fathers).

Namun , sebaliknya , mulai dari masa Wapres Hamengkubuwono IX sampai kini , ada pula pertanyaan yang tetap menggantung. Apa persisnya kiprah dan kiprah wakil presiden? Dalam kosakata kita , pernah kita dengar istilah ”ban serep” bagi kiprah dan fungsi wakil presiden.

Kadang kita merasa risih dengan istilah tersebut. Banyak yang masih ingat , ketika wakil presiden di masa Orde Baru hanya berperan dalam kiprah pengawasan pembangunan dan kiprah tertentu lainnya yang diberikan presiden. Dalam konteks efektivitas sistem presidensial , stelsel tersebut belum banyak dipertanyakan.

Bukankah pada waktu itu setrik politik posisi presiden kuat? Jika demikian , apakah evaluasi ihwal kiprah dan fungsi wakil presiden yang sangat terbatas itu yang kemudian mendorong semacam keprihatinan ihwal ”kurang didayagunakannya” posisi wakil presiden?

Pada masa-masa awal abad tersebut , mungkin saja hal itu sanggup dipahami. Namun , seiring dengan perkembangan waktu , mungkin juga sejalan dengan cita reformasi atau mungkin alasannya yaitu efek keadaan dan evaluasi terhadap kebutuhan tampil cita-cita berpengaruh untuk menyebarkan pikiran ihwal pengefektifan kiprah dan fungsi wakil presiden dalam sistem presidensial.

Dengan perubahan dan perkembangan keadaan , dengan semakin luas dan beragamnya tantangan , dipikirkan perlunya kabinet yang bisa bergerak lebih gesit , bisa bekerja lebih cepat , dan berdaya guna. Pemikiran yang mencuat: mengapa wakil presiden tidak diberi kiprah membantu dengan ruang gerak yang lebih besar?

Sempat muncul aliran (ketika menyimak rentannya sistem presidensial jikalau dikaitkan dengan praktik perpolitikan yang kian terkesan menampilkan ”perangai” parlementer pasca reformasi) supaya sistem presidensial dimodifikasi. Arah pikirnya dilengkapi dengan jabatan perdana menteri ibarat di Perancis. Wakil presiden beralih fungsi menjadi perdana menteri. Idenya , supaya ada semacam ”bantalan” politik terhadap sistem presidensial.

Namun , terang aliran itu sedikit banyak memiliki implikasi terhadap pengaturan dalam UUD. Bukan saja lebih luas dari sekadar wacana ihwal efektivitas sistem presidensial itu sendiri , melainkan banyak pihak mulai capek jikalau ujungnya masih harus bergulat dengan ubah-mengubah Undang-Undang Dasar lagi.

”Dalam melaksanakan kewajibannya presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden”. Begitu ketentuan UUD. Ketentuan itu sedari kelahiran Undang-Undang Dasar tidak berubah sampai setelah mengalami empat kali perubahan. Tidak ada isyarat lebih lanjut ihwal ketentuan itu. Jika kemudian hal itu diserahkan kepada interpretasi , sudah barang tentu tafsir presiden yang bakal tampil. Peran dan fungsi wakil presiden selama abad Orde Baru mungkin juga buah dari tafsir presiden pada waktu itu terhadap ketentuan UUD. Tidakkah mungkin penafsiran yang lain?

Efektivitas sistem presidensial

Di masa pemerintah Presiden Abdurrahman Wahid , Wapres Megawati Soekarnoputri mengajukan aliran supaya kata ”dibantu” diartikan kiprah membantu presiden , di luar hal-hal tertentu yang menjadi prerogatif presiden , berlangsung selebar koridor kiprah dan kewajiban presiden. Ketika presiden menyetujui , wakil presiden diberi kiprah yang begitu luas. Dengan itu pula struktur organisasi staf Sekretariat Wapres yang waktu itu sudah dipisah dari organisasi Sekretariat Negara disusun dengan sedekat mungkin memperhatikan struktur kabinet.

Wakil presiden diserahi tugas-tugas membantu presiden dalam memimpin sidang-sidang kabinet meski presiden yang membuka sidang dan tetap memberi keputusan akhir. Karena keadaan dan kebutuhan pula , presiden memberi kiprah wakil presiden menandatangani keputusan (sekarang peraturan) presiden atas nama presiden , setelah materinya dilaporkan dan disetujui presiden.

Wakil presiden ditugasi memimpin penyelesaian dan pelaksanaan kebijakan yang sudah diputuskan presiden. Terlepas dari situasi , kondisi , dan kebutuhan obyektif yang ada waktu itu , wakil presiden juga memetik manfaat dari kebijakan tersebut. Ketika harus menggantikan kedudukan dan kiprah sebagai presiden dan ketika program-program yang diamanatkan sebagai mandataris MPR (waktu itu) harus dilanjutkan , tidak ada kecanggungan dalam pelaksanaannya.

Dalam kaitannya dengan soal efektivitas sistem presidensial ini (baca: efektivitas kabinet) , mungkin juga di masa depan dikembangkan interpretasi lainnya. Wakil presiden ditugasi bertindak sebagai ”kepala staf” dalam kabinet. Tugas utamanya memimpin dan mengendalikan teknis pelaksanaan keputusan-keputusan yang diambil dalam sidang kabinet , memastikan penanganan dan capaian jadinya , dan melaporkannya kepada presiden. Dukungan manajemen tetap diberikan oleh menteri sekretaris negara/ sekretaris kabinet. Dengan demikian , presiden sanggup berkonsentrasi pada aspek eksternal , bekerja pada tataran final semua kasus pokok , baik yang menyangkut training politik dalam dan luar negeri , pertahanan dan keamanan , maupun dalam penyelenggaraan hubungan politik antarlembaga negara dan masyarakat , serta memberi keputusan.

Dengan pendekatan tafsir ini , presiden memiliki waktu yang lebih banyak untuk memikirkan dan memutuskan kasus yang pokok dan tidak terlalu terjerat dalam kasus detail dan teknis. Pada dikala yang sama , wakil presiden juga memiliki kiprah , kewenangan , dan tanggung jawab internal yang terang serta luas. Kabinet sanggup bekerja efisien dan program-program sanggup diupayakan setrik lebih efektif. Sudah barang tentu pemahaman hal ini juga tidak terlepas dari faktor kedekatan pikir dan saling percaya antara presiden dan wakil presiden. Namun , itu soal lain lagi , bukan?

Bambang Kesowo , Pengajar Sekolah Pascasarjana Fakultas Hukum UGM; Anggota Dewan Penasihat IKAL-Lemhannas

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Sistem Presidensial"

Total Pageviews