Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Linearitas Di Hari Seni Sedunia

M Dwi Marianto

”UNTUK membentuk pikiran nan utuh: pelajarilah inti-ilmunya seni , dan seninya ilmu pengetahuan. Belajarlah gimana melihat , alasannya semua ilmu pengetahuan itu memiliki asal-muasal di persepsi kita.”   Kutipan tersebut pemikiran dari seorang tokoh legendaris Renaisans , Leonardo da Vinci (1452-1519).

Da Vinci memandang dan memperlakukan alam sebagai model dan sekaligus pembimbingnya. Tanggal 15 April yaitu tanggal kelahiran si insan genius kelahiran Italia itu , yang sekarang digunakan sebagai Hari Seni Sedunia , khususnya seni murni. Perayaan ini mengobservasi kegiatan kreatif seni murni di seluruh dunia; setrik simbolis mempromosikan perdamaian , kebebasan berekspresi , toleransi , persaudaraan , keberagaman , dan kesadaran bakal pentingnya seni bagi bidang lain. Artikel ini menyoroti keresahan dan kebingungan banyak akademisi di dunia pendidikan tinggi seni , bahkan di bidang nonseni , atas pemberlakuan paradigma dan sistem linearitas dalam memprogram dan mengevaluasi banyak sekali aspek pendidikan akademik. Kriteria dan kajian akademiknya pun tidak terperinci (Jurnal Urip Santoso).

Sistem ini setrik makro meregulasi praktik pengajaran dan trik pandang atas bidang-bidang ilmu , yang menuntut linearitas atas beberapa aspek administratif akademik pendidikan. Di antaranya linearitas keilmuan dan kualifikasi akademik pengajar; hasil pembelajaran dan produk belajar; hingga sifat jurnal yang memuat artikel-artikel bidang ilmu bersangkutan harus linier dan spesialis. Cara pandang ini menyerupai trik pandang teologis masa kemudian yang doktrinal , dengan puritanisme. Akibat trik pandang ini , jurnal ”bunga-rampai” ternilai rendah , tak masuk hitungan sebagai jurnal yang baik , dan oleh balasannya sukar terakreditasi. Padahal , syarat memperoleh jabatan guru besar dan kelulusan studi atrik magister dan doktor yaitu artikel yang telah diterbitkan atau yang telah memiliki jaminan formal untuk diterbitkan dalam jurnal yang linier.

Persoalannya , jurnal yang setrik khusus memuat artikel-artikel dari bidang keilmuan yang linier atau seorang mahir sangat langka. Kalaupun ada , waktu terbitannya harus antre lama. Kini ada semacam ketidaknyamanan dan ketidakpastian di kalangan akademisi untuk sanggup memasukkan artikel mereka ke jurnal yang telah terakreditasi. Konsekuensinya banyak akademisi harus menghubungi jurnal-jurnal di luar negeri , tak peduli negara mana , yang penting ”internasional”. Bayar sekalipun tidak apa-apa.

Realitas macam inilah yang membuat banyak praktisi pendidikan bidang seni jadi tambah gundah dan bingung. Sebab , kreativitas atau penemuan , kebaruan , dan prinsip penciptaan seni tidak pernah terjadi setrik linier via alur dan proses yang standar. Atmosfer akademik di dunia pendidikan tinggi di Indonesia sekarang kira-kira sama dengan yang pernah diutarakan Fritjof Capra. Suatu atmosfer akademik yang dikelola dengan sistem linier dan memfragmentasi; produknya hanya menghasilkan unit-unit yang terkotak-kotak atas dasar spesialisasi , tetapi tak sinergis. Para pelakunya sibuk dalam atau dengan urusannya sendiri , berkutat dalam kotaknya masing-masing.

Fenomena ini perlu dicermati dan disikapi lantaran natura kreativitas , penemuan , atau pembaharuan nyaris tak pernah muncul dari keadaan yang linier , fragmented , atau dari keadaan yang serba mudah reduksionis. Sistem macam ini telah merambah dunia akademik di Indonesia , termasuk dunia pendidikan seni. Setrik esensial dan mendasar , pendekatan sistemik yang linear dalam atmosfer akademik yang serba terkotak-kotak menyerupai itu bekerjsama menjauh , atau berkebalikan dari pemikiran dan praksis Leonardo da Vinci , yang menawarkan melalui kreasi dan tulisannya bahwa segala sesuatu itu kait-mengait , saling terhubung satu dengan lainnya. Artinya , saat seseorang mengobservasi dan mengkaji suatu dinamika atau problematika di suatu area , bakal jauh lebih baik dan semakin komplet kalau dia mengamati pula untuk mencari tahu apakah ada , atau tidak , pola yang sama di area-area yang lain.

Keluar dari kampung

Di dunia kreativitas , apakah untuk karya seni murni atau seni terapan maupun di bidang non-seni , untuk memperoleh ide-ide gres dan segar seniman/desainer atau sang subyek harus berpikir bolak-balik , keluar-masuk kotak permasalahannya. Ibaratnya seseorang harus keluar dari kampungnya dulu bila dia ingin melihat kelemahan , kekurangan , dan potensi virtual dari kampungnya guna membuat perubahan atau pembaharuan. Heri Dono , sebagai ilustrasi , seniman Indonesia yang telah menginternasional. Ia mengawinkan dua hal berbeda untuk dikombinasikan sebagai konsep kreatifnya , yaitu animasi dan animisme. Ia berguru dari banyak sekali praktisi seni dari banyak sekali latar belakang , di antaranya Sigit Sukasman , pembaharu pertunjukan wayang klasik dan bentuk-bentuk wayang purwa. Dalam berkarya , Heri membuat karya berbasis suara , gerak , rupa , bahkan membuat pertunjukan wayang sendiri yang diberi sebutan Wayang Legenda.

Endar Progresto , alumnus seni grafis yang tinggal di Boyolali , semenjak 2000 menghijaukan berhektar-hektar bukit yang tadinya gundul dengan banyak sekali jenis pohon sehingga mengondisikan pemunculan mata air di beberapa daerah yang sekarang dirindangi pepohonan. Konsepnya sederhana: dia ingin melukis kanvas luas (alam itu sendiri) dengan warna pepohonan yang hidup.

Di mancanegara , terdapat banyak tokoh populer yang sukses dengan profesinya yang dicapai melalui jalan zig-zag kreativitas , dengan jalan dan capaian yang tak jarang lintas bidang. Sebagai pola , Fritjof Capra yang telah menghasilkan sejumlah buku populer yang mempersoalkan implikasi ilmu pengetahuan—apakah fisika maupun yang metafisika—adalah seorang yang terdidik di dalam disiplin fisika. Salah satu bukunya yang populer yaitu The Tao of Physics.

Ada banyak figur sukses lain , yang kesuksesannya dicapai setrik trans-disiplin , sanggup digunakan sebagai pola perihal pengembaraan intelektual , kultural , dan profesional di mana orang tak terkotak-kotak dalam disiplin-disiplin keilmuan yang statis. Cara berpikir bolak-balik , keluar-masuk , maya-nyata untuk mencipta karya-karya yang hebat bekerjsama bukan hal gres di bidang seni lantaran memang dengan trik begitulah kreativitas (natura dan esensi seni) ternyatakan.

Kembali ke topik semula , di Hari Seni Sedunia , ada pertanyaan yang perlu dikemukakan terbuka: apakah rezim linearitas yang sekarang ”berkuasa” membuat atmosfer akademik dan paradigma keilmuan pendidikan yang memfragmentasi setrik linier dan reduksionis sudah melaksanakan kajian akademik yang mendalam dan komprehensif sebelumnya? Lebih baikkah metode pendekatan sistem linearitas yang cenderung statis dibandingkan metode Da Vinci yang bekerja setrik dinamis non-linier?

M Dwi Marianto , Pengamat Seni dan Budaya; Dosen ISI Yogyakarta

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Linearitas Di Hari Seni Sedunia"

Total Pageviews