Rene L Pattiradjawane
Awal April , Perdana Menteri Li Keqiang berjanji mempercepat konstruksi jaringan kereta api dan perumahan bagi orang- orang tidak bisa , sebagai upaya menahan kemerosotan pertumbuhan dan jaminan bagi investor domestik dan internasional bahwa Beijing tak bakal memagarkan ekonominya bergerak terlalu lambat.
Dalam pertemuan kabinet awal bulan ini , Li menargetkan pembangunan jalur kereta api sepanjang 6.600 kilometer pada tahun ini , lebih panjang 1.000 kilometer dibandingkan dengan yang dibangun tahun lalu. Upaya ini dimaksudkan untuk mendukung dan membantu pemerintah membuat lapangan kerja bagi 10 juta orang sekaligus untuk menjaga stabilitas ekonomi dan sosial tahun ini.
Para pihak di Asia Tenggara melihat perkembangan pertumbuhan Tiongkok dengan waswas , memantau apakah stimulus kecil yang dilakukan Li Keqiang bakal bisa meyakinkan pasar bahwa pertumbuhan bisa didorong terus. Para kolumnis ekonomi di luar Tiongkok pun beropini , melaksanakan transisi ke perlambatan pertumbuhan yang lebih berimbang merupakan tantangan tersendiri bagi Tiongkok.
Persoalannya , selama beberapa dekade terakhir tak ada pemimpin Tiongkok yang berpengalaman bekerja dengan situasi ekonomi yang rendah. Selama ini mereka terbiasa mengelola pertumbuhan ekonomi yang masif , bergerak sangat cepat , dan nyaris tanpa krisis ibarat dialami negara-negara Asia dikala dilanda Krisis Keuangan Asia 1998.
Kekhawatiran terjadi dari tiga sisi. Pertama , imbas yang ditimbulkan penurunan pertumbuhan ekonomi Tiongkok bakal segera dirasakan negara-negara Asia Tenggara yang selama ini menyebabkan Tiongkok sebagai kawan ekonomi dan perdagangan yang paling strategis semenjak tahun 2005. Berbagai impor dan ekspor nonmigas dari negara-negara Asia Tenggara memang menuju dan berasal dari daratan Tiongkok.
Kedua , dikala ASEAN mulai menjalankan konektivitas di antara negara-negara anggotanya melalui pembentukan Komunitas ASEAN 2015 , pilar ekonomi yang menopang konektivitas tersebut sangat rentan menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi pada para kawan utama yang disebut sebagai ASEAN+3 (Tiongkok , Jepang , dan Korea Selatan).
Ketiga kawan strategis ASEAN ini menjadi ”penyelamat” dikala krisis keuangan 1998 berhasil dilalui melalui denah yang dikenal sebagai Chiang Mai Initiative , dikala 13 bank sentral mengadakan perjanjian ”multilateral currency swap”.
Dikhawatirkan , ketimpangan akhir pelemahan pertumbuhan ekonomi Tiongkok dengan cadangan devisa hampir mencapai 4 triliun dollar AS bakal berdampak pada kesinambungan konektivitas kolaborasi ekonomi dan perdagangan kawasan. Faktor lingkungan internasional yang tak menguntungkan sebab lemahnya ekonomi penghasilan tinggi yang masih bergelut keluar dari krisis yang dihadapi juga menjadi bahaya kasatmata dikala ekonomi Tiongkok yang sangat besar lengan berkuasa harus berhadapan dengan problem domestik yang akut.
Rene L Pattiradjawane , Wartawan Senior Kompas
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Bahaya Perlambatan Pertumbuhan Tiongkok"