Budiarto Shambazy
Kompetisi menuju Pemilu Presiden 2014 makin menarik dengan munculnya debat perihal koalisi rakyat versus koalisi partai. Tekad kita hendaknya Aburizal Bakrie , Joko Widodo , dan Prabowo Subianto mau memperjuangkan terwujudnya koalisi rakyat ini.
Tidak ada yang keliru dengan koalisi partai. Namun , untuk tahun ini , menurut pengalaman 2009-2014 , koalisi partai menyerah dululah.
Jangankan dalam sistem parlementer , koalisi partai juga dipraktikkan di negara-negara dengan sistem presidensial. Presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat , Bill Clinton dan Barack Obama , menyisihkan dingklik menteri pertahanan untuk orang dari Partai Republik.
Presiden Soeharto menyisihkan dingklik menteri untuk politisi Partai Persatuan Pembangunan ataupun Partai Demokrasi Indonesia pada serial Kabinet Pembangunan. Sekali lagi , tak ada yang keliru dengan bagi-bagi dingklik dalam jumlah terbatas.
Namun , koalisi partai dalam konteks kita tahun ini morally wrong dan politically incorrect. Maaf , rakyat sudah ”kenyang” disuguhi drama-drama tak bermutu oleh Sekretariat Gabungan Koalisi 2009-2014.
Padahal , duet SBY-Boediono dipilih lebih dari 60 persen rakyat , sebuah kemenangan mutlak. Namun , posisi besar lengan berkuasa menyerupai itu dilemahkan sendiri dengan pembentukan setgab koalisi.
Kesan orang awam , setgab koalisi cuma bagi-bagi jatah dana politik partai/politisi. Pembagian jatah bukan cuma terjadi di eksekutif , tetapi juga menjalar ke cabang legislatif ataupun yudikatif.
Jadi , masuk akal bila sekarang muncul antitesis perlunya pembentukan ”koalisi rakyat. Siapa pun yang terpilih sebagai presiden tak perlu takut lagi disandera dewan perwakilan rakyat lantaran bakal menerima santunan rakyat.
Lagi pula mungkin sekitar 80 persen dari anggota dewan perwakilan rakyat 2009-2014 bakal terpilih lagi. Mereka sedang mengalami krisis legitimasi dan supaya saja sudah jera bermain-main menyandera presiden.
Koalisi partai makin tak relevan lantaran kita menganut sistem presidensial. Bukan cuma presidensial , melainkanjuga sistem presiden yang besar lengan berkuasa yang pernah dipraktikkan Bung Karno dan Pak Harto.
Sejak merdeka , bapak-bapak bangsa sudah tetapkan kita menjiplak sistem presidensial yang kuat. Bahkan , dengan sadar mereka menyebut sistem terbaik yang ada kala itu yaitu yang diterapkan di Amerika Serikat.
Apa lacur , kita sempat terjerembap ke dalam sistem parlementer akhir politics as usual. Hal itu mengakibatkan kabinet-kabinet lebih sering jatuh-bangun ketimbang bekerja demi kepentingan rakyat.
Itu sebabnya Bung Karno melangkah lebih jauh dengan memperkenalkan yang dinamakan ”kabinet kerja” pertama hingga keempat dalam periode 1959-1964. Dengan modal Dekrit Presiden 5 Juli 1959 , Bung Karno leluasa memilih arah dan rencana pembangunan delapan tahunan.
Meski bertangan besi dengan slogan Demokrasi Terpimpin , pembangunan berjalan relatif tanpa gangguan. Jumlah menteri tidak hingga 40-an orang dan lebih banyak yang bersifat teknis.
Praktik kabinet kerja ditiru Pak Harto melalui serial Kabinet Pembangunan dengan Repelita. Jumlah menteri juga hanya secukupnya.
Jumlah menteri memang tidak perlu banyak Salah satu jadwal Reformasi pemberian otonomi tempat seluas-luasnya sehingga fungsi kementerian tertentu otomatis berkurang.
Lagi pula menteri jabatan politis yang penentuannya diserahkan 100 persen kepada presiden terpilih. Jangan lupa pula , menteri berstatus pembantu menyerupai PRT di rumah kita.
Boleh saja menteri ditunjuk dari kalangan politisi. Ia tak bakal mengalami kesukaran lantaran niscaya dibantu penuh oleh para administrator jenderal.
Lebih ideal lagi bila kementerian dipimpin birokrat yang sudah puluhan tahun makan asam dan garam. Bukan hal yang gres pula kalangan akademisi mumpuni pula sebagai menteri.
Sekali lagi , itu hak penuh presiden. Itulah esensi sistem presidensial yang besar lengan berkuasa dan profesional.
Namun , pertimbangan-pertimbangan profesionalitas itu dirusak oleh koalisi partai 2009-2014. Penunjukan lebih bersifat transaksional.
Terkesan ada perhitungan matematis bahwa partai A menerima jatah 2 menteri , partai B 3 menteri , dan seterusnya. Partai tidak menyampaikan sosok-sosok yang profesional , tetapi malah menempatkan ketua umum-ketua umum sebagai menteri.
Itu sebabnya kekuasaan partai amat penuh di tiap kementerian tanpa kontrol dari presiden ataupun DPR. Tidak heran lama-kelamaan korupsi.
Sekali lagi , tahun ini menjadi kesempatan sejarah bagi capres-capres untuk memutus mata rantai dengan masa kemudian (breaking with the past). Tirulah yang dikerjakan Bung Karno dan Pak Harto pada ketika terjadinya krisis politik.
Bung Karno , yang sudah muak dengan ulah politisi sesudah Pemilu 1955 dan mundurnya wapres Mohamad Hatta tahun 1956 , menyampaikan , ”Saya bakal mengubur hidup-hidup partai-partai politik”. Sayangnya ia menjelma diktator.
Saat kelahiran Orba , sebagian jenderal Pak Harto bahkan sempat memperjuangkan pemberlakuan sistem dwipartai (dua partai) untuk mengerdilkan partai. Sayangnya Pak Harto terjebak KKN.
Mulai 2014 ini sistem presidensial yang besar lengan berkuasa sanggup diwujudkan presiden terpilih. Media , akademisi , dan LSM sanggup mengawasi presiden terpilih tidak terjerembap menyerupai Bung Karno atau Pak Harto.
Sistem presidensial yang besar lengan berkuasa membutuhkan , pertama , presiden yang memiliki karakter. Apakah ia memahami aneka macam perkara yang dihadapi rakyat dari hari ke hari?
Kedua , memiliki rekam jejak yang memadai. Ini prasyarat yang lebih diserahkan kepada selera langsung dan back of mind kita masing-masing.
Ketiga , memiliki kepemimpinan yang mencukupi. Tampaknya semua capres kita punya ini.
Keempat , menyampaikan visi , misi , dan jadwal mau dibawa ke mana bangsa dan negara ini. Inilah yang perlu kita tagih dan dengar dari para capres mulai hari ini hingga 9 Juli mendatang.
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Koalisi Rakyat Vs Koalisi Partai"