Asep Salahudin
Kepemimpinan nasional itu bukan sekadar kecakapan mengelola birokrasi , memobilisasi massa , memimpin partai , populis , memiliki pengetahuan luas , trah dari seorang tokoh , apalagi hanya sekadar kepandaian membangun gambaran dan keterampilan mengoperasikan rasa takut bagi khalayak. Namun , seseorang yang memiliki imajinasi berpengaruh , sanggup membuka hijab masa depan , dan mengubah kemustahilan menjadi kemungkinan.
Ini juga yang menjadi lantaran Albert Einstein bilang bahwa imajinasi itu jauh lebih penting ketimbang ilmu pengetahuan dan persyaratan formal. Seandainya insan pergerakan tidak memiliki modal imajinasi menjulang , saya tidak membayangkan entah kapan negeri kepulauan ini bisa terbebas dari cengkeraman kaum kolonial , dari sengketa puak dan etnik yang mengepung Nusantara dengan aktivitas yang bisa jadi berbeda. Seperti acap kali terjadi dari sekian perang antarsuku pada masa kerajaan tempo dulu.
Inilah yang dilakukan Muhammad Yamin dan kaum muda lewat puisi Sumpah Pemuda yang digelorakan di Jalan Kramat Raya No 106 , Jakarta Pusat. Mencanangkan ”keindonesiaan” , padahal ”negara” setrik resmi belum terbentuk. Bukan saja membayangkan tumpah darah yang bersatu lengkap dengan bahasa Melayu yang menjadi lingua franca-nya di hadapan 500 lebih bahasa ibu yang hidup di Bumi Pertiwi.
Kemerdekaan ternyata bermula dari jangkar daya imajinasi. Dari puisi dan kemudian diplomasi. Bukan berawal dari senjata , tentara , dan laskar berani mati yang gampang dipatahkan kekuatan yang lebih lengkap persenjataannya. Negara dibangun tidak menurut advertensi pada ekspo pemilu dan hiruk-pikuk pilpres yang dirutinkan dan kemudian tiba-tiba tak ubahnya bursa partai daerah para calon pemimpin sibuk mencari mitra koalisi sehabis bunyi dihitung menjadi angka , melainkan melalui gagasan luhur , cerdas , dan ideologi yang jelas. Betul apa yang ditulis Martin Heidegger , ”language is the house of being”. Gagasan sebagai rumah kehidupan. Gagasan sebagai halaman depan sebuah bangsa.
Pemimpin imajinatif hanya dimungkinkan ketika mereka karib dengan kitab dan bacaan , bersahabat dengan literasi dan ilmu pengetahuan , bersahabat dengan perdebatan diskursif , dan tentu saja menyatu dengan khalayak yang diwakilinya sebagai lisan bahwa politik yaitu ”tindakan” , politik sebagai kompas ke arah emansipasi sosial dan social imaginary. Perjuangan sebagai , meminjam Rendra , pelaksanaan kata-kata.
Deklarasi dan fantasi publik
Hanya pemimpin imajinatif yang bisa menulis ”Indonesia” ketika negara ini belum terbentuk , bahkan belum diproklamasikan. Seperti Tan Malaka yang menulis dari tanah pelarian , Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) , pada 1925 , yang dibilang Yamin tak ubahnya Thomas Jefferson mengimajinasikan kemerdekaan bangsanya sebelum bangsa itu benar-benar merdeka; Hatta menulis Indonesia Merdeka (Indonesia Vrije) sebagai pleidoi di Den Haag (1928); dan Bung Karno pada 1933 dengan heroik menulis ”Menuju Indonesia Merdeka”.
Indonesia yang merdeka sebelum benar-benar dideklarasikan di Jalan Pegangsaan Timur dengan rumusan yang sesingkat-singkatnya terlebih dahulu menjadi bab integral dari imajinasi kaum pergerakan yang kemudian dipidatokan di depan massa sehingga kesudahannya menjadi fantasi publik , menjadi kebutuhan bersama. Bagi kaum beragama , dibubuhkannya keyakinan metafisis-transendental bahwa merebut dan mempertahankan kemerdekaan yaitu bab dari jihad fi sabilillah. Seperti terbaca , di antaranya , dari resolusi jihad yang digemakan Nahdlatul Ulama pada 22 Oktober 1945 yang dipimpin KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Hasbullah. Resolusi yang berisi ajakan NU yang ditujukan kepada Pemerintah Republik Indonesia dan umat Islam Indonesia untuk berjuang membela Tanah Air dari penguasaan kembali pihak Belanda beberapa ketika sehabis Indonesia diproklamasikan Soekarno-Hatta.
Di sisi lain , ini juga yang menjadi alasan utama setrik teoretik Benedict Anderson dalam Imagined Communities: Reflections on the Origins and Spread of Nationalism (1983) meneguhkan bahwa Indonesia yaitu negara unik yang dibangun tidak berangkat dari nation state yang kukuh , tapi melalui imajinasi kewarganegaraan yang dipandu para pemimpinnya. Tidak ditegakkan lewat konsensus etnik yang solid , tapi semata menurut gimana para pemimpin itu ”berdiskusi” wacana ruang publik dengan seperangkat hukum yang dibayangkan sanggup menjadi landasan utama negara tetap kukuh dalam kebinekaan , bersatu dalam kemajemukan etnik , budaya , ras , dan agama.
Negara Indonesia sebagai komunitas imajinatif ibarat ini hanya bertahan pada kekuatan haluan imajinasi yang dibangun para pendiri bangsa. Setrik kultural kepada sesuatu yang seandainya kita renungkan masih ”abstrak” seperti
makhluk Garuda dalam Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika yang konon terdapat dalam kitab Sutasoma karya Empu Tantular , seorang pujangga yang hidup pada masa Hayam Wuruk periode ke-14 (1350-1389).
Surplus pencitraan
Pemimpin dengan kekuatan energi imajinasi inilah yang hari ini mengalami defisit sehingga yang kita temukan di tengah melimpahnya para calon pemimpin lengkap dengan gelar akademiknya justru nalarnya sangat pendek.
Imajinasi kebangsaan yang punah dari memori para pemimpin yang membuat kemudian kita dikepung wabah berpikir menikung dan sesat , ibarat politik transaksional , pragmatisme , dan dagang sapi. Pemilu yang seharusnya menjadi sirkulasi yang melahirkan negarawan maka tidak ubahnya pesta: riuh dengan sesuatu yang artifisial , gaduh dengan kasus berjangka pendek , dan cenderung tertumpu pada hasrat menyenangkan partai , kaum , dan kelompoknya. Pada awal periode ke-21 justru masih belum beringsut dari diskusi primitif ihwal politik aliran.
Imajinasi hilang dari para akademisi yang membuat kampus (dan sekolah) tak ubahnya pabrik. Hanya mengejar kuantitas mahasiswa dan alpa bahwa substansi pendidikan yaitu melahirkan calon pemimpin yang bisa berpikir merdeka dan imajinatif , bisa membebaskan lingkungan dari keterpurukan , bisa melaksanakan penelitian berharga. Bahkan , dengan tragis kerumunan akademisinya alih-alih memerankan diri sebagai kaum intelektual organik dan otentik ibarat dibayangkan Gramsci dan Edward Said , tapi terserap dalam politik kampus memperebutkan jabatan struktural dan atau melaksanakan malu plagiasi menaikkan jabatan ibarat kerap terjadi akhir-akhir ini.
Imajinasi hilang dari pemimpin agama menjadi muasal mereka hanya berpikir segala sesuatu harus diselesaikan lewat optik syariat yang telah terdefinisikan setrik sepihak. Dan , di luar itu dianggap liyan yang sesat dan bidah.
Bahkan , tak sedikit bukan sekadar mencerminkan pihak yang kehilangan imajinasi , tapi menggambarkan pikir sesat hendak menerapkan politik khilafah periode pertengahan dalam konteks keindonesiaan , menggerus yang dipandang mungkar dengan trik tak makruf , berhasrat mendirikan ”negara Islam” dengan preferensi yang tak terang ujung pangkalnya , kecuali sekadar mencerminkan kedangkalan kecerdikan , kemalasan berijtihad , dan selebihnya kegagapan melihat ruang bangsa yang plural.
Asep Salahudin , Peneliti Lakpesdam PWNU Jawa Barat ,
Dekan Fakultas Syariah IAILM Suryalaya , Tasikmalaya
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Kepemimpinan Imajinatif"