Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Pemilih Melodramatis

Garin Nugroho

Dalam studi kepemimpinan terkenal , Cokroaminoto yang dikenal sebagai guru Soekarno dalam fashion , orasi , menulis , serta taktik organisasi dan politik bisa menyebabkan Serikat Islam sebagai salah satu organisasi terbesar Asia pada era awal kala ke-19. Kemampuan mengelola massa tersebut dalam pengamatan Pemerintah Hindia Belanda tidak bisa dilepaskan dari isu bahwa Cokro yaitu Satrio Paningit alias Ratu Adil , sebuah isu yang memang dengan sengaja dijadikan narasi besar oleh para juru komunikasi Serikat Islam.

Catatan sejarah awal Indonesia ini mengatakan sikap warga dalam menentukan pemimpin tidak bisa dilepaskan dengan narasi sang tokoh yang bisa disebar ke masyarakat menjadi mitos-mitos juru selamat penuh imaji dramatis dengan abjad sebagai berikut:

Pertama , unsur-unsur terkait personal tokoh , baik tanggal kelahiran maupun nama bisa dikelola sebagai atribut Ratu Adil , sebutlah pada nama Cokro yang merupakan senjata utama tokoh Krisna dalam pewayangan.

Kedua , narasi kepemimpinan mistis tersebut bisa menjawab kerinduan hilangnya kepemimpinan atau ketidakpuasan terhadap sikap pemimpin yang berkuasa. Sejarah mencatat , kemunculan Cokro bisa menjawab kosongnya kepemimpinan Jawa sehabis kekalahan Pangeran Diponegoro (1830) yang disertai kehadiran kala gres era industri yang membutuhkan kepemimpinan baru.

Ketiga , pencitraan kepemimpinan membawa rakyat menembus sekat-sekat bermacam-macam perspektif. Sebutlah Cokro dengan berakal menanggalkan gelar kebangsawanan untuk merangkul massa bawah mengingat organisasi yang tumbuh periode tersebut lebih sebagai organisasi kaum priayi. Cokro juga diceritakan bisa blusukan dengan keberanian berhenti kerja di pemerintahan Belanda dan masuk dalam wilayah buruh. Atau simak , kepiawaian Cokro menyandingkan priayi , buruh , petani , pedagang , serta bermacam-macam ideologi dari sosialis sampai komunis dan mengelola kekuatan kaum agama.

Keempat , kemampuan mengelola medium komunikasi populer. Cokro selain orator , jurnalis , namun juga penari Hanoman , yang menjadi ikon kepahlawanan pada kala itu layaknya Superman remaja ini.

Catatan di atas mengatakan bahwa pemilih Indonesia yaitu pemilih melodramatis , yang serba diberi penanda drama evakuasi dalam bermacam-macam narasinya.

Lewatlah di sudut-sudut negeri ini , spanduk Joko Wi sebagai Satria Paningit bermunculan , dari naik kuda ke Senayan sampai naik ojek. Bisa diduga , pertanyaan sederhana muncul: Bagaimana lawan politik harus melawan mitos yang sulit terkalahkan menyerupai itu?

Panggung wayang orang di dikala hidupnya Cokro gotong royong bisa dipadankan dengan televisi atau media umum hari ini. Simaklah sikap masyarakat umum mengonsumsi tokoh terkenal sampai kasus Prita , cicak vs buaya , Hambalang , korupsi daging sapi ataupun isu terkenal lainnya. Simaklah teladan mengonsumsi gosip tersangka korupsi , yang dikonsumsi hanya insiden penuh dramanya , yakni waktu diseret ke KPK atau penjara , namun hanya tidak lebih sebulan , informasi detail berkait kebenaran dalam persidangan yang memerlukan rasionalisasi kebenaran tak lagi terkenal dikonsumsi. Terbaca teladan konsumsi alias menentukan masyarakat Indonesia remaja ini yaitu sikap melodramatis yang serba paradoks dengan perspektif di bawah ini:

Pertama , abjad melodramatis pemilih memunculkan kepemimpinan primadona. Kepemimpinan semacam itu melahirkan pemilih partisipatif yang setia , namun sekaligus pemilih yang serba sensitif ketika muncul kritik terhadap primadona. Pada gilirannya , sensitivitas buta tersebut bisa dikelola menjadi kejengkelan lawan-lawan politik yang bisa terus diperluas yang melahirkan pengucilan.

Kedua , sikap pemilih melodramatis meski melahirkan teladan menentukan dalam hubungan humanisme yang tak penah surut , justru bisa terbalik , melahirkan siklus kepopuleran pemimpin berjangka pendek dan berpindah yang pragmatis alasannya yaitu kecewa terhadap surutnya keprimadonaan yang terperangkap dalam relasi-relasi yang mengecewakan penggemarnya.

Oleh alasannya yaitu itu , para mahir taktik kampanye Pemilu 2014 sangat digantungkan pertempuran mengelola sekaligus merobohkan naratif Satria Paningit sampai sikap pemilih melodramatis yang serba paradoks dan tak terduga.

Garin Nugroho , Sutradara Film , Kolumnis “Udar Rasa” Kompas
KOMPAS , 20 April 2014

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Pemilih Melodramatis"

Total Pageviews