Fajar Kurnianto
MUSIM kampanye yang sudah berlalu diisi promosi partai-partai politik di pelbagai media , baik cetak maupun online , dengan begitu masif. Tujuannya yaitu apalagi jikalau bukan menggaet masyarakat untuk menentukan mereka di hari pencoblosan. Namun , sehabis kampanye , apalagi sehabis pencoblosan pada pemilu legislatif , pekan kemudian , partai-partai politik biasanya sudah sibuk dengan soal kekuasaan , masyarakat pemilih terabaikan , dan politik kembali menjadi milik kaum elite politik.
Melihat kilas balik masa kampanye yang gres saja berlalu , bersama-sama ada dua jenis kampanye: kampanye politik dan kampanye pemilu. Kampanye jenis pertama yaitu suatu proses jangka panjang yang menuntut konsistensi dan kontinuitas dari partai politik (Bluementhal , 1982).
Menurut Norris (2000) , kampanye politik yaitu suatu proses komunikasi politik , yakni partai politik atau kontestan individu berusaha mengomunikasikan ideologi ataupun atrik kerja yang mereka tawarkan. Komunikasi politik juga mengomunikasikan intensi dan motivasi partai politik atau kontestan individu dalam memperbaiki kondisi masyarakat.
Selama ini , kampanye politik lebih dilihat semata sebagai kampanye pemilu yang musiman atau periodik , sehingga interaksi antara partai politik dan masyarakat sangat singkat , tidak ada keberlanjutan.
Lilliker & Negrine (2000) mendefinisikan kampanye ini sebagai periode yang diberikan oleh panitia pemilu kepada semua kontestan , baik partai politik maupun perorangan , untuk memaparkan program-program kerja dan memengaruhi opini publik sekaligus memobilisasi masyarakat semoga menawarkan bunyi kepada mereka sewaktu pencoblosan.
Kampanye jangka pendek ini dicirikan dengan tingginya biaya yang harus dikeluarkan oleh setiap kontestan , ketidakpastian hasil , dan upaya pengerahan semua bentuk perjuangan untuk menggiring pemilih ke bilik-bilik pencoblosan serta menawarkan bunyi mereka (Kahn & Kenney , 1999).
Berbeda dengan kampanye politik yang dilihat sebagai kampanye pemilu musiman atau periodik , kampanye politik yang sesungguhnya sangat dianjurkan untuk dilakukan setiap hari (Norris , 2000). Kampanye politik harus dilakukan setrik permanen , bukan periodik (Bluementhal , 1982).
Sejumlah studi memperlihatkan kesimpulan berbeda ihwal imbas kampanye pemilu terhadap sikap pemilih.
Menurut Franklin (1991) , beberapa studi memperlihatkan bahwa kampanye pemilu melalui atrik pengiklanan dan debat publik di televisi meningkatkan partisipasi pemilih.
Sementara itu , berdasarkan Huckfeldt et.al (2000) , kampanye pemilu meningkatkan keterjangkauan , kepastian , dan akurasi pesan politik yang disampaikan kontestan kepada pemilih.
Menurut Gelman dan King (1993) dan Bartels (1993) , preferensi pemilih terhadap kontestan telah ada jauh-jauh hari sebelum kampanye pemilu dimulai. Kampanye politik terperinci berbeda dengan kampanye pemilu. Kampanye pemilu hanya bab kecil dari kampanye politik , alasannya sifatnya yang musiman atau periodik pada waktu tertentu.
Mereduksi kampanye politik sekadar kampanye pemilu bakal membuat masyarakat ditempatkan sebagai sekadar pemberi bunyi sesaat , bukan bab inheren dan penting dari politik itu sendiri ibarat halnya partai politik. Masyarakat menjadi subyek politik hanya sesaat , yang sehabis itu diambil alih oleh partai politik. Warga ibarat dianggap sekadar pemilih , tidak ikut serta sebagai penentu , dan kekerabatan pun terputus.
Tak sekadar periodik
Politik di negeri ini lebih terlihat sebagai politik periodik , ditandai ingar-bingar kampanye dan berakhir di bilik suara. Padahal , yang diperlukan dari politik yaitu kontinuitas korelasi antara warga dan partai politik.
Artinya , partisipasi politik masyarakat terus berlanjut dengan tugas mereka sebagai pengontrol dan kritikus terhadap sikap orang-orang partai dan partai itu sendiri yang telah dipilihnya.
Setelah pemilu , masyarakat tidak lagi ditempatkan sebagai ”manusia politik” , alasannya politik mereka dianggap sudah selesai sehabis mencoblos.
Masyarakat memang kemudian tetap mengetahui perkembangan dan kelanjutan drama pemilu di media; sehingga sanggup juga berkomentar tentangnya.
Dalam hal ini , politik periodik tentu saja tidak menawarkan pendidikan politik yang komprehensif. Masyarakat ibarat diajarkan bahwa berpolitik yaitu sekadar urusan menentukan atau mencoblos di dalam bilik bunyi dalam waktu tertentu.
Padahal , berpolitik menuntut kesinambungan korelasi antara pemilih dan yang dipilih. Artinya , pemilih terus-menerus terlibat aktif dalam perkembangan sehabis pemilu.
Seperti ditegaskan Arendt , politik berlangsung dalam interaksi antarmanusia , bukan pada diri insan tunggal. Negarawan dan politisi bukanlah orang-orang yang setrik sembarangan sanggup bertindak mewakili masyarakat atau memaksakan aturan-aturan kepada masyarakat. Dengan kata lain , politik bukanlah monopoli para politisi atau kaum elite yang dilegitimasi setrik periodik melalui momen pemilu semata.
Hakikat politik juga bukanlah soal kekuasaan semata. Pemilu bukanlah sekadar mengantarkan para politisi dan partai politik menjadi pemenang dan berkuasa , tetapi lebih dari itu , yaitu menimbulkan kekuasaan sebagai sekadar alat untuk membuat kemaslahatan bersama dengan terus-menerus melibatkan masyarakat dan mendorong partisipasi aktif mereka.
Masyarakat jangan hingga dijadikan sekadar obyek , tetapi harus menjadi subyek yang setrik bersama-sama menentukan nasib bangsa dan negara ke depan.
Fajar Kurnianto , Peneliti PSIK Universitas Paramadina Jakarta
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Bukan Sekadar Politik Periodik"