Mahi M Hikmat
Sejak pemilu pertama (1955) , sistem kepartaian di Indonesia memang mengalami pasang surut. Pada masa Orde Baru ”stabil” dengan kebijakan pembatasan hanya tiga parpol , yakni PDI , PPP , dan Golongan Karya. Pada masa itu sesungguhnya terjadi distorsi demokrasi. Hasil Pemilu 1977 , 1982 , 1987 , 1992 , dan 1997 , yang melibatkan hanya tiga penerima , justru melahirkan sistem yang otoriter.
Keberadaan kedua parpol , yakni PDI dan PPP , hanya menjadi lisptik bagi lahirnya kekuasaan mutlak , alasannya yaitu terjadi penganaktirian parpol. Era itu dinilai hanya skenario penguasa dengan melahirkan garis formal kepartaian sebagai bumbu demokrasi. Padahal , realitasnya , yang hidup dalam kancah perpolitikan nasional dikala itu hanya Golkar. Parpol lain tidak diberi ruang untuk berkembang.
Makin usang , rakyat makin jemu dengan realitas itu. Puncak kekesalan rakyat meledak pasca Pemilu 1997 yang berbuntut jatuhnya rezim Orde Baru.
Rakyat merindukan saluran-saluran aspirasi lainnya sehingga lahir sistem multipartai pada Pemilu 1999. Rakyat lupa , sistem multipartai pun pernah mengecewakan rakyat.
Sejarah parpol
Pemilu 1955 yang diikuti 118 parpol dan Pemilu 1971 yang diikuti 10 parpol telah melahirkan kegagalan bagi kehidupan politik masa itu.
Namun , alasannya yaitu desakan kerinduan rakyat pada sistem multipartai sangat berpengaruh , pasca jatuhnya rezim Orde Baru , aneka macam piranti peraturan politik diubah , termasuk sistem kepartaian , sehingga kembali ke multipartai. Inilah yang mendorong menjamurnya parpol baru. Pemilu ”istimewa” tahun 1999 diikuti oleh 48 parpol , Pemilu 2004 diikuti 24 , dan Pemilu 2009 diikuti 38 parpol.
Akan tetapi , kembali ke sistem multipartai ternyata tidak memuaskan rakyat. Para wakil rakyat hasil pemilu , dinilai banyak pihak , tidak memenuhi impian rakyat. Alasannya , mereka lebih bersikap sebagai wakil partai dan mementingkan diri sendiri daripada sebagai wakil rakyat. Ini tampak dari korupsi miliaran rupiah yang mereka lakukan , baik sebagai individu maupun sebagai partai.
Kekecewaan rakyat berbuah pada tuntutan pemilihan presiden dan wakil presiden setrik eksklusif , juga pemilihan kepala kawasan dan wakilnya.
Tuntutan itu sanggup dipersepsi sebagai keraguan atau ketidakpercayaan rakyat terhadap pilihan wakil rakyat (MPR , DPR/DPRD) yang tidak memenuhi impian rakyat. Bahkan , lahirnya calon independen dalam pilkada eksklusif menjadi indikator embel-embel keraguan rakyat terhadap parpol.
Lalu sistem kepartaian macam apa yang harus hidup di republik ini? Bagaimanapun juga demokrasi tidak bakal hidup tanpa dibangunnya forum penyalur aspirasi rakyat.
Rakyat Indonesia pun sudah janji untuk ”menyandarkan” hidup pada demokrasi segimana termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945. Rakyat Indonesia sudah telanjur percaya pada demokrasi untuk membawa mereka pada kehidupan yang lebih baik.
Ubah pragmatisme
Dengan dua belas parpol pada Pemilu 2014 , tentu tidak dibutuhkan menghasilkan out put yang sama dengan pemilu sebelumnya. Sejarah pahit masa kemudian dibutuhkan tidak terulang kembali. Hal itu sanggup terwujud jikalau terjadi perubahan paradigma fundamental setidaknya dari dua lini , yakni rakyat pemilih dan parpol.
Kecenderungan selama ini bahwa rakyat lebih menyukai menentukan dengan semangat pragmatisme , sehingga melahirkan sikap menghalalkan money politics , harus mulai dikikis habis. Rakyat harus dibawa pada wahana berpikir ke depan , menentukan bukan untuk hari ini , tetapi menentukan nasib bangsa dan negara ini hari esok. Sikap dan sikap ibarat itu bakal melahirkan wakil rakyat yang bersikap dan berperilaku pragmatis juga. Realitas maraknya wakil rakyat yang korup di republik ini tidak terlepas dari pragmatisme rakyat pemilih.
Oleh alasannya yaitu itu , gagasan cemerlang membangun pemilih yang cerdas harus segera dibumikan; Imbauan harus menentukan dengan hati nurani sejatinya tidak hanya lipstik belaka , tetapi harus menjadi paradigma pemilihan wakil rakyat dalam Pemilu 2014.
Lahirnya banyak parpol pun dibutuhkan tidak menambah jumlah saja , tetapi juga harus sanggup memperlihatkan makna. Sejatinya , makin banyak parpol , makin lebar kesempatan bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasi. Realitas itu harus sinergis dengan semakin terakomodasinya kepentingan rakyat.
Namun , hal itu hanya bakal menjadi mimpi jikalau ternyata partai yang lahir tidak memiliki jiwa; hanya jasad-jasad yang hidup. Dua belas , 38 , 48 , atau berapa pun parpol penerima pemilu hanya bakal menjadi raksasa yang tidur , jikalau mereka tidak memiliki keinginan dan kesadaran yang kokoh untuk mengubah bangsa dan negara ini menjadi lebih baik.
Mahi M Hikmat , Doktor Komunikasi Politik Unpad; Dosen UIN Bandung; Dewan Pakar ICMI Jabar
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Berharap Pada Parpol"