Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Menunggu Kesatria Konstitusi

Indra Tranggono

Rendra pernah bilang , rakyat tidak membutuhkan ratu adil , tetapi aturan yang adil. Pernyataan ini menghardik trik berpikir mesianistik yang lebih akrab dengan mitologi dan ”klenik” , dua fakta mental yang tetap hidup dalam kebudayaan bangsa kita.

Penyair dan dramawan itu lebih melihat nasib rakyat sebagai problem struktural dan sistemik dibanding problem budaya spiritual. Menjadikan aturan sebagai panglima menjadi trik strategis untuk mengatasi dilema dibanding berharap kepada figur sentral. Hukum sebagai panglima meniscayakan keadaban yang memungkinkan terwujudnya keadilan dan rasa keadilan publik.

Para penyelenggara negara bukan lagi sebagai pemilik dan pengendali aturan , yang selalu memborong kebenaran sepihak , melainkan hamba/penegak aturan yang bertugas mulia mewujudkan impian konstitusi. Namun , dalam sejarah pengelolaan negara , bangsa ini belum pernah mencicipi nikmatnya hasil pelaksanaan aturan sebagai panglima.

Meskipun negeri ini selalu dimaknai sebagai negara aturan , belum ada praktik kekuasaan setiap rezim yang mengakibatkan aturan sebagai panglima. Soekarno lebih suka mengakibatkan politik sebagai panglima. Soeharto lebih enjoy mengakibatkan ekonomi sebagai panglima dengan langgam kapitalisme (yang dikontrol) negara.

Rezim-rezim pasca Soeharto sekadar menjadi resonansi kebijakan ekonomi kekuasaan Orde Baru. Hanya aksentuasinya saja yang berbeda: kapitalisme liberal yang memanjakan pasar bebas. Ini berjalan tanpa pengawalan aturan setrik ideal atau mendekati ideal.

Jika dicermati , setiap rezim yang tiba dan berkuasa selalu membuat kekerabatan yang berjarak antara praktik penyelenggaraan negara dan aturan sebagai panglima.
Padahal , negara ini mengambil model negara modern berbasis demokrasi. Lazimnya demokrasi selalu menyertakan penegakan aturan sebagai syarat penting selain kompetensi , transparansi , dan kesetaraan (politik , ekonomi , sosial , dan budaya).

Akibatnya , demokrasi hanya menjadi label dan mekanisme kekuasaan tanpa substansi: kedaulatan di tangan rakyat.

Demokrasi hanya menjadi milik kelompok tertentu yang menguasai kapital. Demokrasi ”wani piro” (transaksional) pun berjalan setrik dominan. Berbagai dekadensi dalam praktik penyelenggaraan negara pun tak bisa dihindari.

Korupsi menjadi pedoman tunggal para penyelenggara negara. Semua ini menunjukkan , tanpa aturan sebagai panglima , kekuasaan berbasis demokrasi cenderung brutal. Tak ada kepastian hukum. Tak ada keadilan.

Modus eksistensi

Apakah Pemilu 2014 bisa melahirkan wakil rakyat partai yang bisa melahirkan sistem berupa legislasi berkualitas dan berpihak kepada kepentingan rakyat? Juga , apakah bakal lahir presiden dan wakil presiden yang bisa membuat dan menjalankan regulasi sesuai amanat konstitusi? Itulah dua pertanyaan genting yang hidup dalam benak rakyat.

Kita berharap para caleg dan capres-cawapres bisa menangkap dan menerjemahkan kegelisahan yang terkandung dalam pertanyaan rakyat itu. Pemberian bunyi rakyat harus dimaknai sebagai kepercayaan , pesan moral , dan aspirasi politik yang harus diwujudkan oleh caleg dan capres dalam kiprah legislatif dan administrator mereka.

Rakyat tidak membebani Anda semua untuk menjadi ratu adil. Tugas itu terlalu tinggi dan berat. Rakyat hanya ingin Anda semua bisa menjadi penyelenggara negara yang baik , berani menempuh langkah etis , dan bisa melahirkan karya besar berupa legislasi , regulasi , dan kebijakan politik tata kelola kekuasaan.

Tolong , singkirkan impian untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan trik mengeksploitasi kekuasaan. Sekali dalam hidup Anda semua , jadilah kesatria konstitusi , yang berani bertarung setrik total membuat kesejahteraan rakyat. Ada tokoh yang sanggup menginspirasi Anda semua , contohnya Presiden Venezuela Hugo Chavez (1954-2013).

Sepanjang masa kepemimpinannya , Hugo telah menerapkan konstitusi gres , mendirikan dewan demokrasi partisipasi , menasionalisasi sejumlah industri penting , meningkatkan anggaran kesehatan dan pendidikan , dan mengurangi tingkat kemiskinan setrik besar-besaran.

Tentu Anda semua sudah memahami modus keberadaan ala Erich Fromm , yaitu ”memiliki” dan ”menjadi”. Rakyat berharap Anda semua menentukan modus keberadaan ”menjadi” , yaitu menjadi negarawan , bukan sekadar politikus.

Rakyat berharap , tanpa menjadi ratu adil pun Anda semua bisa mengakhiri mimpi jelek bangsa ini. Namun , tidak dengan komitmen dan pencitraan , tetapi dengan kemampuan , integritas , komitmen , dan dedikasi.

Tolong , sekali dalam hidup beranilah Anda semua menjadi insan baik yang memiliki kesalehan sosial , politik , ekonomi , dan budaya. Sudah usang buku sejarah bangsa ini menganggur , tidak mencatat munculnya tokoh besar.

Catatan sejarah yang anggun merupakan salah satu penanda tingginya peradaban bangsa. Anda semua pasti tak mau memagarkan bangsa ini bolos dalam membangun kebudayaan dan peradaban , hanya sebab para penyelenggaranya sibuk memperkaya diri dan karam dalam hedonisme.

Anda semua punya kapasitas untuk menjadi pribadi-pribadi asketis ala para begawan atau brahmana. Suatu saat , anak cucu kita bakal menemukan Anda semua sebagai tuan rumah sejarah bangsa. Semoga.

Indra Tranggono , Pemerhati Kebudayaan , Sastrawan
KOMPAS , 21 April 2014

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Menunggu Kesatria Konstitusi"

Total Pageviews