Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Tiga Juta Lapangan Kerja Berkualitas

P Agung Pambudhi

SEDERET data ditampilkan Ahmad Erani Yustika untuk memperlihatkan elastisitas penciptaan lapangan kerja yang memburuk di mana setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi membuat jumlah lapangan kerja yang semakin kecil dari tahun ke tahun. Diungkapkan , pertumbuhan ekonomi tinggi tak serta-merta membuat lapangan kerja besar , bahkan yang terjadi pertumbuhan ekonomi tinggi telah membuat perangkap pertumbuhan berupa disparitas pendapatan antar-golongan yang setrik tepat terjadi di Indonesia.

Artikel Erani ini menanggapi pendapat Gustav Papanek , Presiden Boston Institute for Developing Economies. Sayangnya , komentar Papanek perihal pentingnya menaruh perhatian pada industri padat karya tidak dibahas Erani.

Dalam penciptaan lapangan kerja , gagasan studi Papanek terbagi dalam dua bagian: pertolongan bagi investasi industri padat karya dan kebijakan penciptaan lapangan kerja aktif (active employment) lewat anggaran pemerintah dengan melibatkan rakyat dalam atrik pembangunan.

Lapangan kerja berkualitas

Mengapa investasi padat karya? Industri inilah yang paling berpotensi menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar , jauh melampaui daya serap tenaga kerja industri padat modal ataupun jasa pada umumnya. Industri padat karya menyerupai tekstil , garmen , dan bantalan kaki bisa menyerap banyak tenaga kerja dengan tingkat keterampilan rendah (low skills).

Tersedia surplus tenaga kerja yang sanggup dilatih dengan segera untuk mengerjakan pekerjaan low skills itu. Industri padat karya inilah yang bisa menjadi pull-factor untuk menarik ”surplus” tenaga kerja di sektor tak produktif menyerupai pertanian dan para pekerja informal. Setrik meyakinkan , Papanek memaparkan surplus tenaga kerja , di antaranya ditunjukkan dalam analisis soal ”surplus” tenaga kerja pertanian.

Untuk penciptaan tiga juta lapangan kerja berkualitas per tahun dan mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi , Papanek mensyaratkan beberapa hal utama.

Pertama , Indonesia harus bisa mengambil 10 persen pasar investasi padat karya Tiongkok yang bakal ditinggalkannya mengingat upah tenaga kerjanya sudah tidak bakal kompetitif lagi. Jika Indonesia tidak bisa memanfaatkannya , kesempatan ini tak bakal berulang mengingat negara-negara kompetitor menyerupai Vietnam , Kamboja , dan India bakal mengambilnya.

Kedua , pembenahan daya dukung industri padat karya , di antaranya dengan mengurangi biaya logistik dan transportasi yang ketika ini masih sekitar 26 ,5 persen dari total biaya , jauh lebih tinggi dibandingkan negara kompetitor menyerupai Malaysia (13 persen) dan Jepang (10 persen). Ketiga , pertolongan ketersediaan energi dengan biaya kompetitif , di antaranya dengan konversi penggunaan minyak (BBM) ke gas (BBG) yang didukung sarana dan prasarana distribusi gas dari lokasi produksi ke area konsumsi.

Keempat , penciptaan kluster industri di luar Jakarta yang lebih murah biaya lahan dan tenaga kerja dengan meningkatkan anggaran infrastruktur yang ketika ini sekitar 1 persen dari PDB menjadi 5 persen (yang sanggup didanai dari pengurangan subsidi BBM dan insentif pajak bagi investasi yang membangun infrastruktur).

Kelima , menjaga upah minimum buruh yang masuk nalar disertai atrik peningkatan kualitasnya supaya naik produktivitasnya sehingga meningkatkan pendapatan buruh. Keenam , kebijakan kurs BI dengan menjaga penguatan rupiah di tingkat yang sanggup diterima sehingga memperlihatkan insentif bagi eksportir. Ketujuh , pengurangan biaya regulasi dengan kepastian dan penegakan aturan serta implementasi tata kelola pemerintahan yang baik (good gkelewat / overnance).

Karya Papanek memperlihatkan rekomendasi operasional yang amat diperlukan , relatif nyata dan tidak terlalu normatif segimana kebanyakan studi. Tentu sejumlah catatan bahkan barangkali sanggahan bisa ditujukan ke studi tersebut.

Soal fokus industri padat karya , selain soal upah minimum , banyak sekali prasyarat Papanek tersebut bukan merupakan kepentingan spesifik industri padat karya , melainkan juga kebutuhan industri manufaktur pada umumnya. Maka , persoalannya bukan picking the winner untuk industri yang diutamakan , melainkan penciptaan daya dukung investasi yang memungkinkan setiap bidang industri lebih berdaya saing. Baik industri manufaktur padat karya maupun padat modal bakal diuntungkan.

Namun , Papanek juga benar bahwa perhatian pada industri padat karya memungkinkan untuk absorpsi tenaga kerja yang besar. Di sisi lain , industri manufaktur padat modal juga penting untuk penciptaan nilai tambah yang membawa tarikan atrik ekonomi lainnya.

Biaya tenaga kerja

Tantangan utama dari implementasi rekomendasi Papanek ialah terkait upah minimum. Sejatinya tak ada yang gres dalam gagasan menempatkan upah minimum sebagai jaring pengaman (safety net) sehingga besarannya hanya untuk memenuhi kebutuhan minimum—mirip basis kebutuhan fisik minimum yang berlaku sebelumnya , bukan berdasar kebutuhan hidup layak (KHL) yang sekarang berlaku.

Namun , sebagai negara yang masih sangat muda dalam berdemokrasi , di mana euforia kebebasan demikian kuat memengaruhi banyak sekali aspek kehidupan termasuk dalam teladan korelasi pemberi kerja dan tenaga kerja , gagasan institusionalisasi upah minimum sebagai jaring pengaman hampir merupakan utopia , jauh panggang dari api. Politisasi pengupahan yang menempatkan posisi pengusaha-pekerja berhadapan setrik diametral dalam tata kehidupan ekonomi politik Indonesia merupakan tantangan amat besar untuk mencapai keharmonisan korelasi bipartit , terlebih ketika unsur pemerintah dalam korelasi tripartit demikian lemah dalam menjamin kepastian dan penegakan hukum.

Formula ideal upah minimum yang mengakomodasi kepentingan pengusaha , pekerja , dan pencari kerja setrik teknokratis obyektif bisa dirancang. Termasuk dengan mempertimbangkan kemampuan pemerintah menyediakan pelayanan dasar kesehatan , pendidikan , dan infrastruktur dasar yang besar lengan berkuasa terhadap penentuan upah minimum. Namun , soalnya lebih pada kemauan politik dan kemampuan pemerintah menegakkan aturan demokrasi berupa pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang didukung ukuran-ukuran obyektif dengan baik.

Lebih lanjut , tak gampang untuk menempatkan kebijakan pengupahan dalam kaitannya dengan produktivitas sebagai basis penentuan upah yang adil bagi pengusaha dan pekerja—yang pengukuran akuratnya lebih mungkin ditentukan di tingkat perusahaan—di tengah kuatnya imbas gerakan buruh terhadap serikat pekerja/serikat buruh (SP/SB) di tingkat perusahaan.

Belum lagi bila bitrik banyak sekali ketentuan lain ketenagakerjaan dalam UU No 13/2003 dan sejumlah peraturan turunannya terkait pemutusan korelasi kerja , pesangon , kebijakan alih daya (outsourcing) , dan lain-lain yang sangat kontrkelewat / oversial.

UU ketenagakerjaan ini mencatat rekor UU yang paling banyak dilakukan uji bahan , baik oleh pengusaha maupun pekerja , sehingga tidak keliru bila dikatakan sebagai UU yang tidak diinginkan pengusaha ataupun pekerja , tetapi ironisnya hingga ketika ini segala upaya untuk merevisinya selalu menemui jalan buntu.

Rekomendasi Papanek soal upah minimum semestinya bisa dilaksanakan , tetapi mensyaratkan kepemimpinan nasional yang amat kuat untuk bisa melampaui uji pertama: amendemen UU No 13/2003 sebagai awal pembenahan banyak sekali masalah ketenagakerjaan.

Diskusi lanjut rekomendasi Papanek tentu bisa diteruskan , tetapi saya membatasi goresan pena ini di sini , untuk menyambut seruan Erani dalam mendiskusikan suatu karya akademik. Rekomendasi akademik Papanek untuk penciptaan tiga juta lapangan kerja mungkin bisa dilaksanakan menurut catatan di atas , dan sejumlah bantuan aliran lainnya dari para pemangku kepentingan atas kerja akademiknya. 

P Agung Pambudhi , Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia;
Wakil Ketua Dewan Pengurus Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah
KOMPAS , 22 April 2014

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Tiga Juta Lapangan Kerja Berkualitas"

Total Pageviews