Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Jurus Tandur

Sukardi Rinakit

Hormat saya kepada Surya Paloh yang cita-citanya lebih besar dari dirinya sendiri. Dengan tidak menegosiasikan dirinya sebagai calon wakil presiden Joko Widodo , calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan , ia telah membunuh libido pkekuasaannya. Sekecil apa pun keputusan tersebut , itu merupakan bab dari kebajikan (virtue) politik.

Hal tersebut konkuren dengan langkah Jokowi yang tampak sedang berusaha membangkitkan alam bawah sadar bangsa. Dalam geraknya mendekati partai lain sesudah hasil hitung cepat pemilu legislatif diumumkan , bukan istilah koalisi yang beliau pergunakan , melainkan kerja sama.

Terminologi tersebut sepertinya sederhana. Namun , kolaborasi ialah formulasi lain dari istilah sakral yang dulu sudah tanggapan dirumuskan oleh para pendiri Republik berdasarkan sejarah panjang Nusantara , yaitu musyawarah mufakat dan gotong royong. Sebuah praktik demokrasi yang tidak semata-mata bertumpu pada satu orang satu bunyi dan transaksi politik menyerupai dikandung dalam koalisi , tetapi konsensus bersama demi kepentingan yang lebih besar , yaitu bangsa dan negara.

Mencermati langkah Jokowi tersebut , saya jadi teringat lagu band Slank yang berjudul ”Jurus Tandur” , abreviasi dari maju terus pantang mundur. ”Maju terus pantang mundur/langkah ke depan/jangan ke belakang. Maju terus pantang mundur/untuk kebenaran.... Maju terus pantang mundur , demi keadilan...”.

Meskipun banyak pihak , terutama analis politik , mencemooh penggunaan istilah kolaborasi sebagai pijakan dasar dalam mendekati partai-partai politik semoga bergabung dengan PDI-P untuk mengusung beliau sebagai calon presiden , Jokowi jalan terus. Mungkin beliau meyakini bahwa formulasi itulah yang menjadi jiwa dari kemerdekaan Indonesia dan kelangsungan hidup bangsa ke depan.

Dengan konstruksi berpikir menyerupai itu , sanggup dipahami apabila partai politik yang selama ini terkungkung dalam wahana berpolitik ialah dalam rangka mendapat kekuasaan dan memperoleh hak-hak istimewa ekonomi merasa asing dengan langkah Jokowi tersebut. Penulis yang selama ini terbiasa mempergunakan istilah koalisi sejujurnya juga belum terbiasa dengan istilah kerja sama.

Hal itu menunjukkan tanpa sadar sebagian besar dari kita telah mengubur semangat dan praktik musyawarah mufakat dan bantu-membantu yang sejatinya merupakan identitas dan kecerdikan orisinil Nusantara. Tidak mengherankan apabila perihal penggabungan partai politik menjadi berisik menyerupai yang kini ini berlangsung.

Hampir semua partai menengah bermanuver semata-mata ingin menaikkan bargaining position di mata tiga partai yang berdasarkan hasil hitung cepat menduduki daerah teratas (PDI-P , Golkar , dan Gerindra). Bahkan , partai Islam mencoba menggodok kemungkinan membentuk poros tengah untuk mengubah konfigurasi politik.

Harapannya , poros Islam menjadi kaukus gres menggeser posisi salah satu dari tiga partai utama itu. Apabila langkah itu gagal , setidaknya daya tawar mereka terhadap salah satu dari ketiga partai tersebut bakal kuat. Namun , kalau dilihat dari miskinnya tokoh yang menjadi preferensi publik di partai-partai Islam , rasanya sulit mereka memenangi kontestasi pemilu presiden. Terlebih lagi , di kala budaya pop kini ini , pencitraan figur dalam batas-batas tertentu diperlukan.

Di sisi lain , berbeda dengan PDI-P dan Golkar , Partai Gerindra sangat aktif melaksanakan pendekatan kepada partai-partai lain. Dalam perspektif budaya politik , langkah aktif itu bakal mendatangkan manfaat apabila dilakukan setrik terukur. Sayang sekali ,
Gerindra cenderung terlalu aktif jikalau dihentikan disebut berangasan dalam bermanuver semenjak kampanye pemilu legislatif digelar.

Itu mengurangi daya dobrak kerja jaring- an di struktur basis yang sudah digarap usang dan iklan yang ditebar di media massa. Alam bawah sadar bangsa ini tidak suka sindiran berlebih , kesinisan , dan festival kekuatan. Setrik hipotesis , kalau pimpinan Gerindra sanggup mengukur setrik bijak langkah politiknya , perolehan suaranya diperkirakan lebih tinggi daripada yang diperoleh sekarang.

Langkah yang kurang terukur , menyerupai yang kini sedang berlangsung , yaitu terkesan tidak mengambil jarak dalam konflik internal Partai Persatuan Pembangunan , sanggup memicu partai-partai lain mempertimbangkan lebih dalam untuk bergabung dengan Gerindra. Apabila hal itu berlaku , Gerindra sanggup berjalan sendirian. Sungai politik yang semula berpusar di tiga kaukus (PDI-P , Golkar , dan Gerindra) tidak tertutup kemungkinan bakal mengkristal ke dalam dua pedoman , yaitu kelompok PDI-P dan Golkar.

PDI-P bakal bermitra dengan Partai Nasdem , PKB , kemungkinan PAN , dan PKPI (nonfaktor) dalam mengusung Jokowi sebagai calon presiden. Sesuai hasil survei lembaga-lembaga independen , Jusuf Kalla memiliki peluang tertinggi sebagai cawapresnya. Adapun kawan Golkar ialah PD , Hanura , PKS , PPP , dan PBB (nonfaktor). Sampai hari ini , Aburizal Bakrie ialah calon presiden yang mungkin diusung kaukus ini.

Melihat itu semua , suka atau tidak , rasanya sulit membendung Jokowi yang kini sudah memegang narasi publik. Dengan kesederhanaan dan kekerempengan-nya , beliau ialah pemanggul prinsip ”jurus tandur” demi Indonesia Raya.

Sukardi Rinakit , Pendiri Soegeng Sarjadi Syndicate dan Kaliaren Foundation
KOMPAS , 22 April 2014

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Jurus Tandur"

Total Pageviews