Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Nasionalisme Tuan Presiden

Donny Gahral Adian

PEMILIHAN presiden tinggal sebentar lagi. Setiap kandidat pun sudah mengobral janji politiknya kepada publik. Satu yang mengikat semua kandidat yakni ideologi bau tanah berjulukan nasionalisme. Semua , contohnya , berjanji bakal mengedepankan kepentingan nasional kalau terpilih nanti.

Tidak ada lagi impor beras , garam , dan bawang merah. Sumber-sumber ekonomi bakal dikelola putra-putri terbaik bangsa sendiri. Nasionalisme sudah menjadi jargon pokok di setiap kampanye.

Padahal , kita semua tahu banyak yang lain di ekspresi lain pula di hati. Nasionalisme hanya berdetak ketika kampanye. Nasionalisme menyerupai puisi yang lezat didengar. Persoalannya , ketika terpilih , pemimpin bakal memerintah tidak dengan puisi , tetapi prosa. Dan prosa itu berjulukan ketergantungan di segala bidang.

Kepentingan nasional

Banyak yang salah kaprah mengeja nasionalisme. Nasionalisme bukan mengisolasi diri dari relasi-relasi global. Nasionalisme justru memanfaatkan relasi-relasi global demi kepentingan nasional. Kita dihentikan menolak kemungkinan untuk memperoleh gas murah dari negara lain.

Namun , syaratnya , negara tersebut harus membuka pasar tekstilnya bagi Indonesia. Nasionalisme tidak anti impor. Nasionalisme hanya mengutuk impor barang ekonomi yang sanggup dihasilkan bangsa sendiri setrik lebih efisien dan murah.

 Nasionalisme bukan kata-kata belaka. Dia harus bisa diraba. Nasionalisme berbeda dengan banyak sekali ujar populis yang beredar di ruang publik belakangan ini. Beberapa kandidat , contohnya ,  berjanji untuk lebih berpihak kepada pelaku ekonomi lokal. Persoalannya , keberpihakan itu butuh langkah-langkah nyata.

Bagaimana keberpihakan tersebut sanggup maujud kalau subsidi pertanian terus- menerus dipangkas. Izin untuk waralaba absurd terus-menerus diumbar. Ikan di perairan sendiri terus-menerus dicuri nelayan absurd tanpa sanksi. Harga solar untuk nelayan kecil terus menerus dinaikkan. Nasionalisme membutuhkan keberanian dan bukan jargon atau puisi kacangan.

Para kandidat presiden harus bisa melindungi kepentingan nasional setrik bijaksana. Paling tidak , ada tiga kepentingan nasional yang perlu dijadikan jadwal utama bagi mereka yang berkepentingan di tahun politik ini.

Pertama yakni ekonomi kerakyatan. Ekonomi kerakyatan yakni kepentingan nasional lantaran bertanggung jawab terhadap nafkah bagi jutaan keluarga. Petani tembakau ketika ini , contohnya , sedang kebingungan akhir regulasi yang menuntut diversifikasi tumbuhan tembakau. Padahal , sektor ini menghidupi banyak sekali keluarga. Pemimpin berikut harus memiliki keberpihakan yang terperinci terhadap sentra- pusat ekonomi kerakyatan di republik ini.

Kedua yakni energi. Energi memilih hidup-mati sebuah bangsa. Indonesia memiliki sumber energi yang melimpah , baik yang terbarukan maupun tidak. Ini tentu saja bakal menarik banyak sekali investor absurd untuk menanamkan modalnya. Investasi absurd bukan sesuatu yang haram. Namun , energi sebagai kepentingan nasional harus dilindungi dengan memberlakukan hukum yang ketat.

Investasi bukan berarti eksploitasi tanpa batas. Investasi harus menguntungkan bangsa sendiri. Kepentingan nasional kita sebagai bangsa yakni ketersediaan energi yang murah dan berlimpah. Hak istimewa bagi korporasi-korporasi energi milik bangsa sendiri bukan sesuatu yang haram untuk diberikan.

Ketiga yakni ideologi. Pancasila yakni kepentingan nasional yang wajib dilindungi mati-matian oleh siapa pun yang mengelola republik ini. Perlindungan yang dimaksud bukan dengan menghidupkan lagi aparatus ideologis mirip Badan Pelaksana Pembinaan dan Pendidikan P4 (BP7) dulu. Demokrasi memiliki limitasi terhadap upaya-upaya indoktrinasi ideologis. Pemimpin harus melindungi Pancasila melalui jalan kebudayaan.

Hakikat kultural Pancasila yakni solidaritas atau dalam bahasa Bung Karno:  ”gotong royong”. Gotong royong” berlawanan dengan individualitas keras model liberalisme atau kolektivisme sempit ala fundamentalisme. Artinya , segala jadwal yang berporos pada kedua ”isme” tersebut patut diwaspadai sebagai bahaya  terhadap kepentingan nasional.

Lalu siapa?

Pertanyaannya berikut , siapa kemudian yang bisa mengelola republik ini di bawah panji-panji nasionalisme? Beberapa nama sudah berseliweran. Rakyat pun sudah kenyang dihujani banyak sekali janji. Persoalannya , janji yakni ujaran yang tak bersandar pada kekinian. Janji melulu soal masa depan.

Siapa pun bisa berjanji di tahun politik ini. Namun , kita harus awas membedakan antara janji dan komitmen. Janji tak bersandar pada rekam jejak , sementara komitmen justru sebaliknya. Seorang mantan koruptor bisa saja berjanji untuk memberantas korupsi. Namun , ia tidak bisa berkomitmen terhadap janjinya lantaran rekam jejak berkata lain.

Nasionalisme membutuhkan rekam jejak yang gamblang. Komitmen seorang terhadap nasionalisme diuji pada saat-saat kritis. Saat , contohnya ,  kepala tempat menghadapi pilihan yang sulit: menunjukkan izin kepada waralaba absurd atau merehabilitasi pasar tradisional. Keduanya berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun , yang pertama berpihak pada konsumerisme kelas menengah , sementara yang kedua pada lapangan pekerjaan bagi para pelaku perjuangan kecil.

Rekam jejak menyimpan integritas. Integritas yakni konsistensi dan ketahanan etis. Nasionalisme membutuhkan konsistensi. Seorang pemimpin tidak bisa sesekali memperhatikan kepentingan nasional , tetapi di lain waktu meloloskan protokol internasional yang mengancam kepentingan nasional. Dia juga  tidak bisa meneken undang-undang jaminan sosial nasional , tetapi mengulur-ulur terbitnya peraturan turunan akhir lobi perusahaan asuransi asing.

Nasionalisme juga membutuhkan keberanian. Keberanian bukan sesuatu yang sekadar diteriakkan di atas podium. Pemimpin harus berani menegosiasi ulang semua kontrak karya yang merugikan republik. Semua tunjangan luar negeri dengan bunga yang tidak masuk logika harus berani ditolak. Segenap hibah dengan syarat-syarat tertentu yang di kemudian hari merugikan juga harus ditolak.

Nasionalisasi perusahaan absurd juga bukan sesuatu yang tabu dilakukan. Saat-saat kritis menuntut langkah-langkah dramatis. Pemimpin kita nanti jangan kalah dengan seorang wanita Argentina berjulukan Cristina Fernandez. Cristina berani menasionalisasi perusahaan Spanyol demi kepentingan rakyatnya.

Seorang presiden bisa tiba dari bermacam-macam latar belakang , mulai dari pengusaha , akademisi , hingga militer. Namun , nasionalisme tidak mengenal latar belakang. Seorang akademisi bisa saja lebih nasionalis ketimbang mantan petinggi militer. Profesi tidak sebangun dengan konsistensi terhadap ideologi. Konsistensi tersebut ditempa oleh pengalaman politik yang usang dan penuh dinamika.

Oleh lantaran itu , siapa pun  dia  haruslah seorang politisi. Politisi bukan ia yang piawai merebut kekuasaan , tetapi cakap memanfaatkan kekuasaan bagi kepentingan bangsa dan negaranya.  Dia yang menggunakan kekuasaan untuk mendapat komisi dari lembaga-lembaga keuangan absurd terperinci bukan politisi.                                                                                                                 

Apa pun , tahun ini kita bakal mendapat presiden baru. Sekilas , semua kandidat tampaknya berpegang pada nasionalisme. Mereka tampil layaknya pembela terdepan kepentingan bangsa dan negaranya. Namun , nasionalisme tidak bisa ditemukan pada kesan-kesan yang dibangun iklan. Nasionalisme , sekali lagi , tersimpan dalam rekam jejak , konsistensi , dan keberanian. Semoga kita memperoleh pemimpin sedemikian.

Donny Gahral Adian , Konsultan Politik
di Hendropriyono and Associates Strategic Consulting

KOMPAS , 22 April 2014

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Nasionalisme Tuan Presiden"

Total Pageviews