Masyarakat Indonesia dahulu memeluk keyakinan animisme berupa pemujaan roh nenek moyang yang disebut hyang atau dahyang, yang diwujudkan dalam bentuk arca atau gambar. Pada mulanya sebelum Walisongo memakai media wayang, bentuk wayang mirip relief atau arca yang ada di Candi Borobudur dan Prambanan.
Pementasan wayang merupakan program yang amat digemari masyarakat. Masyarakat menonton pementasan wayang berbondong-bondong setiap kali dipentaskan.
Sebelum Walisongo memakai wayang sebagai media mereka, sempat terjadi perdebatan diantara mereka mengenai adanya unsur-unsur yang bertentangan dengan aqidah, keyakinan keesaan Tuhan dalam Islam.
Selanjutnya para Wali melaksanakan banyak sekali pembiasaan biar lebih sesuai dengan pemikiran Islam. Bentuk wayangpun diubah yang awalnya berbentuk mirip insan menjadi bentuk yang baru. Wajahnya miring, leher dibentuk memanjang, lengan memanjang hingga kaki dan bahannya terbuat dari kulit kerbau.
Dalam hal esensi yang disampaikan dalam cerita-ceritanya tentunya disisipkan unsur-unsur budpekerti ke-Islaman. Dalam lakon Bima Suci misalnya, Bima sebagai tokoh sentralnya diceritakan menyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan Yang Esa itulah yang membuat dunia dan segala isinya.
Tidak berhenti di situ, dengan keyakinannya itu Bima mengajarkannya kepada saudaranya, Janaka. Lakon ini juga berisi ajaran-ajaran ihwal menuntut ilmu, bersikap sabar, berlaku adil, dan bertatakrama dengan sesama manusia.
Dalam sejarahnya, para Wali berperan besar dalam pengembangan pewayangan di Indonesia. Sunan Kali Jaga dan Raden Patah sangat berjasa dalam menyebarkan Wayang. Bahkan para wali di Tanah Jawa sudah mengatur sedemikian rupa menjadi tiga bagian.
Pertama Wayang Kulit di Jawa Timur, kedua Wayang Wong atau Wayang Orang di Jawa Tengah, dan ketiga Wayang Golek di Jawa Barat. Masing masing sangat bekaitan satu sama lain yaitu “Mana yang Isi (Wayang Wong) dan Mana yang Kulit (Wayang Kulit) dan mana yang harus dicari (Wayang Golek)”.
Di samping memakai wayang sebagai media dakwahnya, para wali juga melaksanakan dakwahnya melalui banyak sekali bentuk akulturasi budaya lainnya contohnya melalui penciptaan tembang-tembang keislaman berbahasa Jawa, gamelan, dan lakon Islami.
Setelah penduduk tertarik, mereka diajak membaca syahadat, diajari wudhu’, shalat, dan sebagainya. Sunan Kalijaga yaitu salah satu Walisongo yang tekenal dengan minatnya dalam berdakwah melalui budaya dan kesenian lokal.
Dalam hal ini sanggup disimpulkan bahwa menyebar luaskan Islam melalui bahasa-bahasa simbol, media, dan budaya merupakan salah satu bentuk usaha yang cukup efektif.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan ihwal wayang sebagai simbol dan media dakwah Wali Songo. Media dakwah dengan wayang sangat memberi tugas dalam memberikan dakwahnya oleh wali songo. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
Pementasan wayang merupakan program yang amat digemari masyarakat. Masyarakat menonton pementasan wayang berbondong-bondong setiap kali dipentaskan.
Sebelum Walisongo memakai wayang sebagai media mereka, sempat terjadi perdebatan diantara mereka mengenai adanya unsur-unsur yang bertentangan dengan aqidah, keyakinan keesaan Tuhan dalam Islam.
Selanjutnya para Wali melaksanakan banyak sekali pembiasaan biar lebih sesuai dengan pemikiran Islam. Bentuk wayangpun diubah yang awalnya berbentuk mirip insan menjadi bentuk yang baru. Wajahnya miring, leher dibentuk memanjang, lengan memanjang hingga kaki dan bahannya terbuat dari kulit kerbau.
Dalam hal esensi yang disampaikan dalam cerita-ceritanya tentunya disisipkan unsur-unsur budpekerti ke-Islaman. Dalam lakon Bima Suci misalnya, Bima sebagai tokoh sentralnya diceritakan menyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan Yang Esa itulah yang membuat dunia dan segala isinya.
Tidak berhenti di situ, dengan keyakinannya itu Bima mengajarkannya kepada saudaranya, Janaka. Lakon ini juga berisi ajaran-ajaran ihwal menuntut ilmu, bersikap sabar, berlaku adil, dan bertatakrama dengan sesama manusia.
Dalam sejarahnya, para Wali berperan besar dalam pengembangan pewayangan di Indonesia. Sunan Kali Jaga dan Raden Patah sangat berjasa dalam menyebarkan Wayang. Bahkan para wali di Tanah Jawa sudah mengatur sedemikian rupa menjadi tiga bagian.
Pertama Wayang Kulit di Jawa Timur, kedua Wayang Wong atau Wayang Orang di Jawa Tengah, dan ketiga Wayang Golek di Jawa Barat. Masing masing sangat bekaitan satu sama lain yaitu “Mana yang Isi (Wayang Wong) dan Mana yang Kulit (Wayang Kulit) dan mana yang harus dicari (Wayang Golek)”.
Di samping memakai wayang sebagai media dakwahnya, para wali juga melaksanakan dakwahnya melalui banyak sekali bentuk akulturasi budaya lainnya contohnya melalui penciptaan tembang-tembang keislaman berbahasa Jawa, gamelan, dan lakon Islami.
Setelah penduduk tertarik, mereka diajak membaca syahadat, diajari wudhu’, shalat, dan sebagainya. Sunan Kalijaga yaitu salah satu Walisongo yang tekenal dengan minatnya dalam berdakwah melalui budaya dan kesenian lokal.
Dalam hal ini sanggup disimpulkan bahwa menyebar luaskan Islam melalui bahasa-bahasa simbol, media, dan budaya merupakan salah satu bentuk usaha yang cukup efektif.
Demikianlah sahabat bacaan madani ulasan ihwal wayang sebagai simbol dan media dakwah Wali Songo. Media dakwah dengan wayang sangat memberi tugas dalam memberikan dakwahnya oleh wali songo. Kunjungilah selalu www.bacaanmadani.com semoga bermanfaat. Aamiin.
0 Response to "Wayang Sebagai Simbol Dan Media Dakwah Wali Songo"